Kamis, 05 Juli 2007

Tentang Budaya Jawa

Sebelum bangsa-bangsa dari luar Nusantara berdatangan ke Nusantara untuk menjajakan barang dagangannya dan menawarkan atau memaksakan sikap pikirnya, orang-orang Jawa yang sejati sudah mempunyai peradabannya sendiri.

Jawa yang sejati ini sekarang sudah jarang sekali. Demikian menurut seorang sufi dan pelukis (sudah almarhum) dari Klaten, Jateng, yang sudah menulis lebih dari 50 risalah mengenai faham Jawa. Paling banyak tinggal satu persen dari semua orang yang menyebut dirinya Jawa dan atau Jawa secara badani. Cara menghitungnya adalah berdasar pengalaman beliau sendiri - yang diperkuat oleh pengalaman seorang sufi lain di sebuah dusun terpencil di kawasan Ponorogo, Jatim, masih hidup - yang tidak mungkin saya uraikan di sini. Sekedar untuk mengetahui ciri-cirinya, bisalah dikatakan bahwa rata-rata manusia yang dianggap Jawa yang namanya paling kerap disebut-sebut di dalam media di Indonesia adalah bukan Jawa yang sejati.

Sang Paring Gesang
Dengan peradaban milik sendiri itu orang-orang Jawa sudah lama sekali berpikir sendiri mengenai nilai-nilai rohaninya. Mereka sudah punya faham keselamatan dan jalan penyelamatan sendiri. Mereka sudah mengenal Sesembahan sendiri yang disebut Gusti, Pangeran, Sang Paring Gesang (Sang Pemberi Kehidupan), dan masih banyak sebutan lagi.

Dengan demikian jalan peradaban menyangkut sikap pikir perihal keselamatan dan penyelamatan yang datang dari luar, bagi orang-orang Jawa, adalah nilai tambah yang disyukuri. Sedang terhadap nilai-nilai yang dirasa tidak cocok dan atau bertentangan, orang-orang Jawa pada umumnya menganginkan saja. Orang Jawa adalah juara pertama peradaban dunia dalam hal menganginkan perkara-perkara yang tidak baik.


Pusat Segalanya
Sang Paring Gesang itu dimuliakan sebagai pusat alam semesta dan pusat segala-gala termasuk pusat kehidupan, pusat kematian dan pusat keabadian dalam satu helaan nafas. Sebelum segala-gala ada dan diadakan alias dibuat - termasuk agama-agama yang dibuat oleh manusia-manusia yang amat rumit kewibawaannya sehingga digelari dengan sebutan-sebutan yang selanjutnya menjadi berhala bagi yang mempercayainya - Sang Paring Gesang sudah ada dengan cara entah bagaimana yang sampai saat ini belum ada jawabannya. (Justru rahasia ini menjadi kegairahan bagi orang-orang Jawa untuk terus menerus mencariNya.)

Sang Paring Gesang itu bukan hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur dan pembimbing. Sebab segala-gala yang ada di jagat raya - kehidupan, kematian, gerak, pikiran, tindakan, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan hewan isi alam serta hak-hak dan kewajiban di dalamnya, juga termasuk hubungan dengan alam gaib hantu-hantu, siluman, prewangan, demit, wewe gombel dan sejenisnya - berada dan mengada menurut rencana dan kehendakNya.

Terpenting, segala cara "perwujudan" Sang Paring Gesang itu tanpa menafikan dan apalagi menindas kebebasan pribadi sang insan yang secara alamiah dan badaniah terlahir sedemikian rupa sehingga mempunyai akalbudi yang amat dahsyat, jika tepat penggunaannya. Dengan akalbudi itulah tiap manusia secara pribadi bahkan mampu "menciptakan" apa saja di dalam kalbunya, termasuk "menghadirkan" keberadaan Sang Paring Gesang sendiri.

Dalam kerangka semacam itu, maka Sang Paring Gesang itu bagi orang Jawa adalah sumber yang memberikan penghidupan dan keselarasan serta memberi corak perwujudan ihwal hubungan tiap pribadi dengan jagat kerohanian. Bagian faham budaya Jawa itu disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti. Ini adalah sikap hidup yang meyakini bahwa tugas dan kewajiban hidup manusia adalah mencapai keselarasan dengan kekuatan pamungkas dan kesatuan puncak. Di sini manusia sebagai pribadi berserah pasrah diri di haribaan Gustinya. Sumarah!

Laku
Untuk sampai ke taraf itu maka orang-orang Jawa berpikir, merenung, bertapa, mati raga, membaca dan macam-macam, singkatnya mencari sendiri - tanpa perantara selain berguru kepada kinerja olah batin nuraninya sendiri - Sang Paring Gesang. Itulah yang disebut Laku.

Laku adalah puncak, hanya berbeda satu huruf dengan sebuah kata Jawa yang saya tidak kuat mengatakannya (yang artinya adalah sanggama mulia), yang sejatinya merupakan saudara kembar dalam alam kedewasaan yang bertanggungjawab di dalam faham Jawa.

Berkat "ibadah" Laku itulah maka orang Jawa tidak cemas akan gebyar-gebyar Suksma atau Hal-hal Aneh yang ada di luar nalarnya. Mereka mencerna semua itu di dalam kalbunya yang paling dalam. Mereka berusaha memasuki dan sekaligus dimasuki alias dirembesi alam terbuka yang lembut dan sayup-sayup dengan Roso (akalbudi nurani) yang sejati.

Upaya insan Jawa untuk memahami keberadaannya di antara semua makhluk yang tergelar di jagad raya, telah membawanya ke ziarah pengembaraan rohani yang belum selesai, entah kapan selesai, dan barangkali tidak akan pernah selesai.

Pertanyaan tentang dari mana dan mau ke mana (sangkan paraning dumadi) dalam ziarah tersebut terus bergulir dari zaman ke zaman sejak zaman purbakala manakala insan Jawa menyadari keberadaan dirinya - keakuannya - di hadapan yang lain-lain. Pertanyaan sederhana tetapi amat mendasar tersebut, ternyata mendapatkan jawaban yang justru merupakan pertanyaan-pertanyaan baru dan sangat beragam, terpulang pada mutu dan kematangan sang penanya, sang peziarah rohani sendiri.

Mencari dengan Roso
Berkat kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan selama berabad-abad berdampak pula pada perkembangan kecerdasan dan kesadaran manusia. Dampak tersebut menjadi kian rumit bagi kehidupan manusia umumnya. Dan bagi orang-orang Jawa, kerumitan itu terjadi justru manakala Laku mereka dalam mencari Sang Paring Gesang itu diperkaya atau dipermiskin (dalam faham Jawa sama saja, menurut prinsip ada yang tiada dan tiada yang ada adalah sama) manakala dihadapkan pada faham-faham kerohanian yang datang dari luar Nusantara semisal dari Timur Tengah termasuk Arab, Barat, India dan Tiongkok.

Namun kerumitan itu tidak membuat pencarian insan Jawa akan hakikat jati dirinya di hadapan Sang Paring Gesang berhenti, justru makin berkembang, dan tidak bisa dihentikan oleh kekuatan yang macam apapun. Dalam pencarian ini tidak jarang mereka terbentur-bentur pada kegelapan rimba raya perbedaan dan pemahaman mengenai banyak hal besar, misalnya perihal kebaikan, kebenaran, cintakasih, iman, pengharapan, surga, neraka, alam kelanggengan, dan seterusnya.

Kadang-kadang orang merasa sudah tidak bisa mencari lagi, hanya dengan akal nalar budi nurani berdasar benak. Itulah sebabnya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka insan-insan Jawa mengembangkan pencarian itu dengan akal nalar budi nurani yang bukan hanya berdasar benak dan nalar, namun juga dengan hati dan naluri. Dengan Roso!

Dengan Roso itulah sebagian orang Jawa merasa telah bisa menemukan apa yang dicari, dengan catatan, hanya bagi dirinya sendiri! Masalah dan perkara baru terjadi, ketika pengembaraan Roso tersebut diungkapkan ke luar. Mulai terjadi perbedaan-perbedaan sampai benturan-benturan, khususnya menyangkut kelembagaannya di dalam hidup bermasyarakat.

Artinya, benturan-benturan tersebut menyangkut hal luar, menyangkut nilai-nilai tambah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hakikat Sang Paring Gesang alias Gusti sendiri.

Sang Maha Gaib
Sebab, Gusti adalah Sang Sesuatu yang mustahil bisa diketahui secara lengkap dengan akal, nalar, budi nurani dan bahkan dengan berdasar Roso sekalipun, apalagi hanya berdasar ajaran-ajaran yang bertumpu pada kitab-kitab yang disebut kitab suci yang berasal dari jagat peradaban yang lain.

Gusti adalah Sang Maha Gaib. Rumusan apapun tentangNya yang pernah dilakukan manusia di sepanjang sejarah kemanusiaannya tetap saja menjumpai ketidaklengkapan dan atau bahkan kegagalan. Masalahnya, Sang Paring Gesang dengan 1001 sebutanNya menurut 1001 peradaban di bumi ini tidak pernah merumuskan DiriNya secara nyata.

Yang disebut pewahyuan dalam agama-agama Samawi, dalam faham Jawa, tidak lebih adalah penafsiran manusia di jagat sekitar Timur Tengah akan Roso mereka sendiri. Jadi, deret panjang peristilahan dalam berbagai lembaga keagamaan yang mengacu pada pewartaan atau perwahyuan dari Sang Maha Rahasia sehingga menimbulkan deret panjang istilah jabatan dan martabat keagamaan, semuanya itu berasal dari tafsir manusia-manusia juga. Keabsahan, wewenang, ajaran pamungkas, dll sejenis itu yang terdapat di dalam lembaga-lembaga keagamaan secara kesejarahan pada ujungnya akan menuju pada ihwal perkara perebutan kekuasaan duniawi belaka. Begitulah secara singkat faham Jawa yang sejati mengenai agama-agama Samawi.

Tiga Kendala Perdamaian
Dan, perebutan kekuasaan duniawi itulah yang pada abad ke-21 ini menjadi wacana amat dahsyat yang melahirkan peristiwa-peristiwa yang tidak kurang dahsyatnya. Perkara bom-boman, teror-berteror, kafir-mengkafirkan, dan perwujudan nyata lain yang amat jauh dari perdamaian yang manusiawi itu, pada ujungnya menyangkut tiga perkara:
  1. Pertama, perkara perebutan tahta-tahta kekuasaan duniawi.
  2. Kedua, perebutan sumber-sumber kekayaan alam raya yang bisa menjadi rupiah, dinar, dolar, euro dan seterusnya.
  3. Ketiga, perebutan dalam perkara saudara kembar Laku yang saya tidak mampu menyebutkannya itu, yakni saling memperebutkan laki-laki, perempuan, atau homo - terpulang jenis kelamin pihak-pihak terkait - inilah yang membuat Laku menjadi terlantar.

Urusan Pribadi
Karena itu, orang-orang Jawa yang sejati dan mudah-mudahan juga orang-orang Jawa yang "biasa-biasa saja" - bisa memeluk agama apa saja atau "sekedar" beragama Jawa - akan menyikapi gegap gempita perang gagasan dengan mengatasnamakan lembaga-lembaga agama itu sebagai suatu keangkuhan terhadap peradaban dan sebagai lelucon yang amat berbahaya. Masalahnya, gegap gempita itu menyangkut pemahaman akan Kegaiban dan Rahasia yang mengatasi pengalaman manusia di buminya yang nyata.

Dengan demikian gegap gempita tersebut merupakaan kesia-siaan yang amat mahal harganya sebab telah menimbulkan korban-korban yang tiada terkira. Sejauh menyangkut Sang Paring Gesang, menurut faham Jawa, tidak tersedia rumus pamungkas dan ajaran yang satu-satunya tentangNya. Sebab hal ini bersangkut paut dengan pengalaman kerohanian yang sangat bersifat pribadi. Deret panjang kaidah dan ajaran yang apapun rumusannya dan bagaimanpun kelahirannya, tak akan mampu membuahkan hasil yang seragam bagi pribadi-pribadi yang berbeda. Pengalaman kerohanian adalah perjalanan dan upaya manusia untuk mencapai taraf pemerdekaan diri, yaitu bebas dari segala bentuk kemelekatan dan kepemilikan yang membelenggu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, termasuk merdeka dari ajaran-ajaran dan petuah-petuah yang picik.

Dengan demikian salah satu butir faham Jawa yang sejati sudah diuraikan sebisanya. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan menuju Eling alias Sadar. Tentu saja belum lengkap. Untuk menyimak ke alam Jawa yang lebih menyeluruh, silakan menyimak situs www.jawapalace.org yang mengilhami dan mendasari catatan kecil ini. Namun segala kekurangan dalam risalah ini, sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

© Radio Nederland Wereldomroep, all rights reserved

Tidak ada komentar: