https://id.wikipedia.org/wiki/Pengging
Pengging adalah nama kuna untuk suatu wilayah yang sekarang terletak di antara Solo dan Yogya (kira-kira mencakup wilayah Boyolali dan Klaten serta mungkin Salatiga). Pusatnya sekarang diperkirakan terletak di Banyudono, Boyolali. Di Desa Dukuh, Banyudono sekarang dibangun kawasan wisata berupa pemandian yang ramai dikunjungi orang untuk melakukan ritual bersih diri, karena terdapat mata air (umbul) yang dianggap suci. Di dekat tempat pemandian ini juga terdapat makam pujangga Sastra Jawa Baru yang terkemuka, Yasadipura I.
Nama Pengging disebut-sebut dalam legenda Rara Jonggrang tentang pembangunan komplek Candi Prambanan. Selanjutnya, dalam sejumlah babad yang menerangkan penyebaran agama Islam di selatan Jawa wilayah ini kembali disebut-sebut, dengan tokohnya Ki Ageng Pengging. Tokoh ini dikenal sebagai pemberontak di wilayah Kesultanan Demak. Kalangan sejarah di Jawa banyak yang menganggap bahwa Pengging adalah cikal-bakal Kerajaan Pajang, kerajaan yang mengambil alih kekuasaan di Jawa setelah Kesultanan Demak runtuh.
Semenjak berkembangnya Kesultanan Mataram dan masa-masa selanjutnya, wilayah Pengging kehilangan kepentingannya dan pusat pemerintahannya berangsur-angsur menjadi tempat untuk pelaksanaan ritual bagi keluarga penerus Mataram. Pengelolaan situs sejarah ini pada masa kolonial dilakukan oleh pihak Kasunanan Surakarta dan sekarang tanggung jawab berada di tangan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
KERATON PENGGING
Pemilihan letak Kraton Pengging tidak lepas dari upaya memanfaatkan potensi air disekitar keraton karena bagi ajaran Hindu disebut air disebut dengan “tirtha amrta” yaitu sebagai pembersih pencuci dan juga sebagai unsur pertumbuhan kehidupan masa mendatang ( Nawawi : 1990), mata air yang terdapat disekitar situs keraton Pengging oleh masyarakat Hindu dipandang sebagai tempat “tirtha amrta” , maka tidak mustahil banyak bangunan Hinduistik selalu berdekatan dengan sumber air.
Disekitar situs ini ditemukan berbagai artefak antara lain tiga buah Yoni serta reruntuhan batu bata di pemakaman umum dukuh Bodean, bahkan Knebel pernah melaporkan bahwa di Bantulan kecamatan Banyudono kabupaten Boyolali dekat perkebunan tembakau terdapat empat buah arca ganeca, sebuah arca Padmapani, sebuah arca Nandi, sebuah Yoni, sebuah saluran air dan sebuah Makara ( Nawawi : 1990).
Wilayah Pengging mengandung akuifer produktif dengan persebaran yang luas. Akuifer ini mempunyai keterusan sedang dengan muka air tanah yang dangkal (Djaeni : 1982) hingga dipastikan bahwa sejak dahulu kerajaan Pengging meletakkan pertanian sebagai andalan kehidupan masyarakat , mengingat ketersediaan air diwilayah Pengging yang selalu melimpah dan terjadi sebelum masa interaksi budaya Pengging berlangsung. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembentukan fragipan yang dijadikan landasan bagi struktur bangunan ( Sunarto : 1991 ). Struktur bangunan kuno itu dibangun diatas batu padas yang biasa disebut fragipan. Batu padas ini terbentuk karena dua sebab, sebab yang pertama padas tersebut terbentuk selama proses pembentukan tanah atau warisan suatu siklus pelapukan menjadi bahan induk yang sekarang ada. Sebab yang kedua padas itu terbentuk akibat pengolahan tanah terhadap penetrasi air atau dalamnya persebaran akar Vegetasi (Isa Darmawijaya : 1990 ). Proses ini berlangsung secara terus menerus menyebabkan timbulnya padas. Hasil analisis Palinologi menunjukkan teridentifikasi adanya serbuk padi didalam tanah padas tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kehidupan masyarakat Pengging dahulu menitik beratkan pada sektor pertanian dalam waktu yang relatif lama dan berlangsung terus menerus ( Sunarto : 1990 ).
Hasil penelitian Hidrogeomorfologi menunjukkan bahwa erat kaitan antara fragipan dengan bangunan kuno karena bangunan kuno di Pengging diletakkan diatas fragipan maka kemungkinan juga keraton Pengging yang sudah hancur ini masih terpendam pada fragipan seperti halnya struktur bangunan kuno yang pernah ditemukan pada makam Bodean. Jika demikian kemungkinan besar lokasi keraton Pengging berada diantara makam Bodean dan umbul Kendat seperti yang disebut sebut pada Babad Jaka Tingkir bahwa makam adik ratu Pembayun isteri raja Pengging Handayaningrat yang bernama ratu Masrara atau rara Kendat dimakamkan berada sebelah timur kedaton Pengging ( Moelyono Sastronaryatmo : 1981 ) Nama Pengging itu sendiri disebutkan dalam kitab Negara Kretagama pada Pupuh XVII bait 10. Dilokalisir dikawasan sebelah barat delta Brantas yaitu daerah hulu bengawan Solo (Abdul Choliq Nawawi : 1990 ).
Berdasarkan keyakinan masyarakat, kerajaan Pengging ini dibangun oleh Prabu Aji Pamasa atau Kusumowicitro dari Kediri pada tahun 901 Caka sekitar tahun 979 Masehi ( Andjar Any : 1979) namun keterangan ini belum dapat dijadikan landasan sejarah kerajaan Pengging, mengingat kerajaan Kediri itu sendiri baru berdiri pada abad 11. Berdasartkan publikasi van Bemmelen (1956) dalam Verhandelingen van het Koninklijk Nederland Geologie Mijnbouw Genootschap, v. XVI, p. 20-36. Ada satu prasasti berangka tahun 1041 M tentang maklumat Erlangga di tempat pertapaannya di Jawa Timur dan prasasti ini memuat tentang kerusakan kerajaan (Mataram Hindu di Jawa Tengah) pada tahun 928 Syaka (+ 78 = 1006 M ). Dari angka tahun prasasti Kalkuta tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Kediri belum berdiri, karena kerajaan Kediri muncul setelah kerajaan Kahuripan pecah menjadi dua yaitu Jenggala dan Kediri atas bantuan empu Bharadah.
Dari persebaran artefak yang ditemukan disekitar situs Pengging ditemukan fragmen piring dari dinasti T’ang ( 618 – 906 M ) dan fragmen mangkok cina tipe Yueh ( 906 -960 M). Serta fragmen lain yang dibuat pada masa dinasti Sung ( 960 – 1279 M ) Jika dilihat dari persebaran fragmen keramik ini dapat dipastikan bahwa komunitas sosial budaya masyarakat Pengging sejalan dengan kehidupan masyarakat pada masa kerajaan Mataram Hindu yang didirikan oleh wangsa Sanjaya pada tahun 654 Caka (732 M ). Bukti lain bahwa Kerajaan Pengging satu jaman dengan Mataram Hindu yaitu terdapat sisa sisa bangunan monumental berupa candi-candi disekitar wilayah Pengging. N.J. Krom pernah melaporkan tentang temuan bangunan candi disekitar wilayah Pengging antara lain candi Krikil dan candi lor di kecamatan Selo candi ini seusia dengan candi Sewu dekat Prambanan. Selanjutnya NJ. Krom juga melaporkan adanya candi Lembu dan candi Peta sekitar dua kilometer sebelah utara candi krikil, sedangkan desa Canden merupakan suatu kompleks percandian dimasa lalu ( Nawawi : 1990 ), maka dapat diperkirakan kurun waktunya sekitar abad IX – X Masehi. Namun budaya pembuatan bangunan monumental ini berhenti setelah kerajaan Matam Hindu pindah ke Jawa Timur Pindahnya Kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur pada abad ke 10, menurut van Bemmelen (1956) ada dua sebab : (1) sedimentasi pelabuhan Mataram Hindu di Bergota - Semarang sekarang, dan (2) erupsi besar (volcanic calamity) Merapi di sekitar 928 Caka ( 1006 M ). Menurut van Bemmelen, Merapi telah menyebabkan "death-blow" kepada Mataram Hindu, memunahkan peradabannya yang jaya. Inskripsi (tulisan) di Prasasti Kalkuta menggunakan kata Sanskerta "arnawa" yang digunakan untuk menggambarkan suatu bencana, banjir besar volcanic mud flows (lahar) (van Labberton, 1922 - Natuurk. Tijdschr. V. Nederland Indie, vol. 81). Kata Prof. C.C. Berg, epigraf dan sejarahwan, "arnawa" atau "ekarnawa" artinya Lautan Susu. Mitologi Hindu menyebutkan bahwa lautan susu ini diaduk oleh para dewa pada awal zaman untuk keabadian. Inskripsi di prasasti berbunyi "Jawa seperti sebuah lautan susu" - Jawa dalam keadaan chaos ! Dari chaos itu timbullah keabadian. Begitulah yang dituliskan Erlangga pada 1041 M. Raja-raja Jawa percaya mati dan lahirnya raja baru selalu disertai letusan gunung api yang hebat Inskripsi di Prasasti Kalkuta menceritakan : orang hidup senang seperti di Negeri Indra (Indra = gunung) sampai akhirnya "Mahapralaya" menimpa Jawa, kraton hancur dan kerajaan pun mati. Hanya Erlangga yang dapat melarikan diri bersama seorang teman ke Pegunungan Selatan, di sana hidup sekian tahun lamanya sebagai pertapa, sebelum akhirnya mereka pergi ke Jawa Timur dan mendirikan kerajaan di sana. Walaupun Kerajaan Mataram hancur dan berpindah ke Jawa Timur namun uniknya komunitas kehidupan masyarakat Pengging tidak terpengaruh, Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa wilayah Pengging aman dari letusan gunung Merapi (Sunarto : 1990) hanya saja budaya monumental yaitu pembuatan bangunan bangunan Hindu dari batu besar mulai ditinggalkan. Dan digantikan bangunan tanah liat berupa batu bata, hal ini dapat dibuktikan dengan masih adanya sisa-sisa batu bata ukuran besar disekitar makam Bodean
KEHIDUPAN POLITIK
Secara politik kerajaan Pengging ini belum dapat dipastikan apakah merupakan vasal (raja bawahan) dari kerajaan Mataram Kuno atau mungkin juga merupakan bumi perdikan yang lepas dari kerajaan Mataram Kuno. mengingat prasasti yang menerangkan kerajaan Pengging belum ditemukan, satu-satunya bukti tertulis hanyalah prasasti pengging yang dikeluarkan pada tahun 819 oleh Rakarayan i Garung bersamaan dengan Smarattungga berkuasa di Mataram. Pada Prasasti Pengging yang berangka tahun 819 M hanya menyebutkan adanya pendirian bangunan suci agama siwa dan tanah itu diberikan pada masyarakat setempat untuk dijaga sebaik mungkin, kemungkinan besar bangunan yang dimaksud adalah sebuah candi Hindu mengingat didaerah Pengging banyak terdapat Yoni yang bertebaran diberbagai tempat belum lagi banyaknya arca arca siwa yang telah hilang
Pada waktu itu telah ada konsep Otonomi kekuasaan walaupun memunculkan Ketegangan politik karena benturan kepentingan pusat dan daerah sering timbul. Itu pula yang pernah terjadi. Di Jawa, lebih sepuluh abad silam populasi penduduk terbatas, wilayah berpenduduk terisolasi dan juga sulit komunikasi. Penyelenggaraan kekuasaan yang terpusat atas beberapa wilayah susah terselenggara. Penguasa masa lalu hanya dapat mempertahankan kekuasaannya dengan tiga jurus sakti. Pertama pemberian otonomi luas, kekayaan, martabat dan juga perlindungan. Kedua memelihara kultus kebesaran mengenai diri dan istananya. Ketiga memiliki militer yang kuat. Tidak ada bentuk negara dengan kekuasaan mutlak dan kekuasaan tunggal waktu itu. Kerajaan terdiri dari daerah-daerah otonom yang diperintah oleh para rakai atau rakryan. Mereka adalah penguasa di daerah yang mempunyai otonomi cukup luas. Umumnya masih merupakan garis keturunan Sri Maharaja baik melalui garis darah maupun melalui perkawinan. ( Sarjiyanto : 2003 ) dan Pengging tampaknya merupakan bagian dari wilayah yang memiliki otonomi yang dimaksud.
Jika Pengging sebagai daerah otonomi, dimana letaknya? Sementara pusat ibukota Mataram Kuna baru dikenal dari namanya yaitu Medang i bhumi Mataram i Poh pitu, i Mamrati dan i Watugaluh. Seorang rakai sering memiliki sejumlah wanua atau komunitas desa dan senantiasa berusaha meningkatkan prestise dengan memperbanyak bangunan suci. Wanua berada dibawah rama (pejabat desa) sebagai pembesar mereka dan sudah berkelompok dalam watak atau federasi-federasi regional. Seorang Rakai juga sering membuka tanah untuk dianugerahkan pada komunitas Hindu atau Budha yang pada gilirannya diimbangi dengan balasan berupa pemberian gelar-gelar simbolis terutama gelar maharaja, sebuah gelar tertinggi. Dari sini tampaknya integrasi pedesaan dan konsolidasi kekuasaan pada waktu itu sudah cukup maju. Sebagai penguasa dalam lingkungan daerah seorang rakai kadang menguasai arah kebijakan yang akan dilakukan dalam wilayah kekuasaannya termasuk pengembangan bangunan sucinya. Dalam membangun bangunan suci tidak jarang seorang rakai meniru budaya pusat yang menarik dan sebagian yang lain membangun ciri spesifik tersendiri. ( Sarjiyanto : 2003 ) Jika demikian maka dapat disimpulkan pertama tahun 819 Pengging merupakan daerah otonomi yang diperintah oleh seorang Rakai atau Rakryan bawahan raja Mataram. Kedua
Pengging merupakan kerajaan tersendiri tetapi menjadi sekutu Mataram, jika dilihat dari sisa peninggalan disekitar situs Pengging menunjukkan bahwa Pengging adalah penganut Siswa sama seperti dinasti Sanjaya. Setelah Rakai Pikatan berhasil menyatukan kedua wangsa melalui perkawinannya dengan Pramodhawardhani kerajaan Mataram bersekutu dengan Pengging untuk menghancurkan kekuatan Balaputradewa yang bertahan di Benteng Ratu Boko . dari epigrafi yang tertulis di benteng Ratu Boko menunjukkan bahwa tempat itu didirikan oleh Rakai Panadwara yang beragama Budha tetapi disekitar bangunan terdapat bentuk bentuk yang bercirikan Hindu. Jelas adanya campur tangan kekuasaan Hindu hal inilah yang mendukung teori Penguasa Mataram Hindu berupaya menghancurkan kekuatan Balaputradewa yang beragama Budha, kekalahannya melawan kekuatan sekutu Pengging-Mataram menyebabkan ia harus melarikan diri ke Sriwijaya.
STRUKTUR BANGUNAN
Adapun bentuk bangunan keraton Pengging diperkirakan seperti model keraton Hindu pada umumnya namun berbentuk lebih sederhana mengingat Pengging bukanlah kerajaan besar yang menguasai wilayah pulau Jawa tetapi lebih cenderung seperti raja bawahan penguasa otonomi daerah. Kemungkinan bentuk bangunan keraton Pengging digambarkan dalam bentuk joglo, yang terdiri atas pendhapa, gandhok, pringgitan, senthong, longkang, dan pawon, yang setiap bagiannya mengadung makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat jawa. Sekarang ini mungkin hanya dimiliki oleh sedikit orang Jawa "papan atas'' yang masih begitu taat ngugemi (memegang teguh) kejawen-nya. Dalam konsepsi Jawa, rumah adalah satuan simbolis, sosial, dan praktis. pendhapa, bagian depan rumah Jawa, sebagai: pendapa dengan empat saka guru dan delapan tiang penjuru di atas tempat menerima tamu-tamu, sanak kadang, tangga teparo, Yang nggadhuh sawah, ladang, merembuk sesuatu untuk kesejahteraan bersama. ( Darmanto Yatman : 1985 ).
Selain itu secara tata letak ada ruang-ruang yang menjadi ciri keraton yaitu sebuah alun-alun dan Magersari sebagai benteng pertahanan lapis dalam. Dengan jalan jalan kecil sebagai lalu lintas keluarga keraton dengan masyarakat luar. Dari data tersebut sangat sayang apabila situs keraton Pengging ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah karena dengan memahami peninggalan masa lampau kita dapat menyelamatkan budaya agung sehingga tidak sia sialah pemerintah berupaya meyelamatkan aset budaya ini yang sangat berguna sekali bagi generasi penerusnya. Jika ditinjau dari aspek budaya jelas situs keraton Pengging ini mempunyai peranan yang sangat penting karena terdapat kesinambungan sejarah masa lalu, kejayaan masa lampau dan menjadi spirit bagi anak turunnya untuk selalu berkarya dan berinisiatif mengisi pembangunan ini.
BUPATI PENGGING
Nama asli Handayaningrat adalah Jaka Sengara. Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan Ratu Pembayun putri Brawijaya raja Majapahit (versi babad), yang diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya.
Jaka Sengara kemudian menjadi Adipati/Raja Muda Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi. Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.
Serat Kanda mengisahkan, Handayaningrat membela Majapahit saat berperang melawan Demak. Ia tewas di tangan Sunan Ngudung panglima pasukan Demak yang juga anggota Walisanga. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mendukung serangan Demak.
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Selasa, 01 November 2016
Jumat, 25 September 2015
PENGGING, Keratonnya Anak Gembala
sumber: KOMPAS, http://www.kompasiana.com/muhammadaprianto/pengging-kratonnya-anak-gembala_5517ea29a333117707b66384
Pengging masih tetap Pengging yang sekarang menjadi Kelurahan Pengging, Kecamatan Banyudana Kabupaten Boyolali. Desa yang kaya akan air dan sumber mata air. Menurut cerita-cerita kuno sering disebutkan bahwa air dan keberadaannya diatas atau istilah Jawa-nya tumampang. Posisi air lebih tinggi jika dibandingkan area persawahan. Tempat seperti demikian yang menjadi pilihan untuk bubak padunungan. Saat ini Pengging terkenal akan kolam renangnya. Pengging menjadi ramai ketika sebelum tiba hari puasa Ramadhan umat Islam melakukan kegiatan yang sering disebut padusan. Tidak hanya masyarakat sekitar yang datang ke Pengging, masyarakat luar kota juga tidak mau ketinggalan.Pengging memang terkenal dengan mata airnya. Maka dari itu namanya terdengar hingga ke Kota Solo. Tempat yang paling ramai dikunjungi di Pengging adalah kolam renang, pasar, masjid hingga Makam Yasadipuran yang hingga kini nama itu dipakai di sebuah Sekolah Menegah Pertama di Solo.
Di Pengging dan sekitarnya banyak sekali patilasan kuno. Seperti makam dan jejak atau tilas Kraton juga ditemukan bekas komplek pacandhen. Salah satunya patilasan yang paling tua berada di Desa Malangan. Berwujud makam, tetapi awalnya hanya bekas candi Syiwais yang sekarang dipercaya sebagai makam Kyai Ageng Sri Makurung Prabu Andayaningrat dan menjadi sebuah tempat yang mengandung nilai sejarah. Beberapa orang yang berziarah ke makam tersebut seperti Pak Sutopo dari Malang dan pengusaha dari Boyolali jadi sukses usahanya setelah berziarah ke makam tersebut. Sebagai wujud syukur, makam dibangun hingga berwujud seperti sekarang ini.
Maksud dan tujuan membangun makam tersebut untuk lebih baik merupakan suatu hal yang positif. Namun di sisi lain pada kenyataannya akan merusak dan angger-angger (monumenten ordonantie), karena dampaknya akan hilang tanda-tanda yang menunjukkan bahwa makam tersebut bekas atau tilas candi yang nantinya akan mempersulit penelitian sejarah dikarenakan hilangnya bukti.
Makam Kyai Ageng Sri Makurung dijaga dan dipelihara oelh juru kunci Arjatiyasa alias Muhammad Khussen. Pak Arja pun mulai bercerita kepada wartawan Jayabaya, Thojib Djumadi. Beliau tidak bisa menjelaskan secara terperinci karena itu hanya dongeng dan diceritakan secara turun temurun. Namun apa yang dijelaskan oleh beliau cocok dengan isi dari Babad Pengging yang sampai saat ini masih tersimpan di Museum Sono Budoyo Yogyakarta dengan nomer daftar SB 49.
Pak Arja mulai bercerita. Keanehan mulai terlihat ketika beberapa anak bermain di sekitar tempat tersebut dan dijadikan ratu pasti akan jatuh dan meninggal, Walaupun demikian anak-anak yang bermain di sekitar tempat tersebut masih bermain ratu-ratunan. Akhirnya tidak ada lagi yang bersedia untuk menjadi ratu. Kemudian keanehan itu terjadi lagi ketika anak-anak yang lebih tua (dewasa) memaksa yang lebih muda untuk menjadi ratu dan akhirnya meninggal juga.
Setelah kejadian demi kejadian, seperti biasa anak penggembala itu berkumpul dan bermain di tempat yang memiliki keanehan tersebut. Hewan-hewan mereka dikumpulkan di sebuah tempat yang lapang untuk mencari makan. Tidak khawatir hewannya akan merusak ataupun hilang. Salah satu dari anak yang berkumpul mengatakan bahwa dirinya bermimpi ada seseorang anak yang kuat dan menjadi ratu. Anak yang dimaksud tidur di atas batu. Sekumpulan anak tersebut mulai mencari, bertemulah mereka dengan si Cekohrogoh anak dari Ki Mundhingsari yang pada waktu itu pernah tidur diatas batu kemudian si Cekohrogoh dipaksa menjadi ratu.
Cekohrogoh adalah anak yang nakal, walaupun ia berada dalam kumpulan anak-anak gembala dia datang tidak untuk menggembalakan hewannya. Dia hanya mencari tempat untuk menenangkan diri dan minggat karena tidak patuh terhadap kedua orangtuanya. Cekohrogoh bersedia menjadi ratu dengan persyaratan semuanya akan patuh terhadap perintahnya. Anehnya anak-anak yang berkumpul seperti terkena hipnotis, semua patuh dan taat pada Cekohrogoh. Selain itu Cekohrogoh juga menjadi bersinar cahaya dan tampak berwibawa. Permainan pun berubah menjadi sesuatu hal yang serius. Dari perintah Cekorogoh, anak-anak penggembala hewan mendirikan kraton. Hal itu terjadi hingga ke telinga para orang tua.
Cekohrogoh jadi raja di Kraton Pengging yang berjulukan Kyai Ageng Sri Makurung. Dalam pemerintahannya Kyai Ageng Sri Makurung dibantu oleh anak-anak yang dulunya teman bermain yang dijadikan prajurit dan pembantu pemerintahan yang bertempat di Pengging di bawah kaki Gunung Merapi.
Mengikuti Sayembara Majapahit
Kraton Pengging namanya santer terdengar dan di elu-elukan para masyarakat karena tanahnya yang subur terletak antara Gunung Lawu dan Gunung Merapi . Hal itu membuat kekhawatiran Prabu Brawijaya V di Majapahit. Karena Majapahit belum merasa puas jika belum menguasai Nusantara, masih ada yang berani menampilkan dirinya di Pelataran Kraton Majapahit dan Pengging harus ditaklukkan. Untung pada waktu itu Ki Sabdapalon member rekomendasi dan meredamkan amrah Prabu Brawijaya. Ki Sabdapalon berkata bahwa dirinya mendapat wahyu tentang Pengging, Pengging jangan diajak untuk berperang namun sebaliknya, Sang Prabu membuat sayembara.
Pada saat yang bersamaan Majapahit sedang menghadapi Ratu Bali yang tidak mau tunduk pada Majapahit. Menanggapi saran dari Ki Sabdapalon, Prabu Brawijaya woro-woro, mengumumkan bahwa siapa saja yang bisa menaklukan Bali bakal dijadikan menantunya.
Ki Ageng Sri Makurung datang ke Majapahit untuk mengikuti sayembara. Berangkatlah Ki Ageng Sri Makurung untuk menaklukan Bali. Bukan hal yang sulit untuk menaklukan Bali. Karena Ratu di Bali adalah Rama dari Ki Mundhingsari yang tidak lain dan tidak bukan adalah eyang dari Ki Ageng Sri Makurung. Usahanya pun berhasil, Ki Ageng Sri Makurung diberi hadiah oleh Prabu Brawijaya dan diangkat menjadi keluarga kerajaan serta menjadi ratu di Pengging dengan julukan Adipati Andayaningrat.
Pernikahannya dengan putri Majapahit mempunyai 3 keturunan. Anak Pertama bernama Keboamiluhur yang berada di Malangan, kedua Ki Ageng Kebo Kanigara dan ketiga Kebo Kenanga yang merupakan pengganti tahta di Pengging.
Pustaka : (Pengging, Kratone Bocah Angon ;Thojib Djumadi; Jayabaya; Reksopustoko Mangkunegaran; B555)
Pengging masih tetap Pengging yang sekarang menjadi Kelurahan Pengging, Kecamatan Banyudana Kabupaten Boyolali. Desa yang kaya akan air dan sumber mata air. Menurut cerita-cerita kuno sering disebutkan bahwa air dan keberadaannya diatas atau istilah Jawa-nya tumampang. Posisi air lebih tinggi jika dibandingkan area persawahan. Tempat seperti demikian yang menjadi pilihan untuk bubak padunungan. Saat ini Pengging terkenal akan kolam renangnya. Pengging menjadi ramai ketika sebelum tiba hari puasa Ramadhan umat Islam melakukan kegiatan yang sering disebut padusan. Tidak hanya masyarakat sekitar yang datang ke Pengging, masyarakat luar kota juga tidak mau ketinggalan.Pengging memang terkenal dengan mata airnya. Maka dari itu namanya terdengar hingga ke Kota Solo. Tempat yang paling ramai dikunjungi di Pengging adalah kolam renang, pasar, masjid hingga Makam Yasadipuran yang hingga kini nama itu dipakai di sebuah Sekolah Menegah Pertama di Solo.
Di Pengging dan sekitarnya banyak sekali patilasan kuno. Seperti makam dan jejak atau tilas Kraton juga ditemukan bekas komplek pacandhen. Salah satunya patilasan yang paling tua berada di Desa Malangan. Berwujud makam, tetapi awalnya hanya bekas candi Syiwais yang sekarang dipercaya sebagai makam Kyai Ageng Sri Makurung Prabu Andayaningrat dan menjadi sebuah tempat yang mengandung nilai sejarah. Beberapa orang yang berziarah ke makam tersebut seperti Pak Sutopo dari Malang dan pengusaha dari Boyolali jadi sukses usahanya setelah berziarah ke makam tersebut. Sebagai wujud syukur, makam dibangun hingga berwujud seperti sekarang ini.
Maksud dan tujuan membangun makam tersebut untuk lebih baik merupakan suatu hal yang positif. Namun di sisi lain pada kenyataannya akan merusak dan angger-angger (monumenten ordonantie), karena dampaknya akan hilang tanda-tanda yang menunjukkan bahwa makam tersebut bekas atau tilas candi yang nantinya akan mempersulit penelitian sejarah dikarenakan hilangnya bukti.
Makam Kyai Ageng Sri Makurung dijaga dan dipelihara oelh juru kunci Arjatiyasa alias Muhammad Khussen. Pak Arja pun mulai bercerita kepada wartawan Jayabaya, Thojib Djumadi. Beliau tidak bisa menjelaskan secara terperinci karena itu hanya dongeng dan diceritakan secara turun temurun. Namun apa yang dijelaskan oleh beliau cocok dengan isi dari Babad Pengging yang sampai saat ini masih tersimpan di Museum Sono Budoyo Yogyakarta dengan nomer daftar SB 49.
Pak Arja mulai bercerita. Keanehan mulai terlihat ketika beberapa anak bermain di sekitar tempat tersebut dan dijadikan ratu pasti akan jatuh dan meninggal, Walaupun demikian anak-anak yang bermain di sekitar tempat tersebut masih bermain ratu-ratunan. Akhirnya tidak ada lagi yang bersedia untuk menjadi ratu. Kemudian keanehan itu terjadi lagi ketika anak-anak yang lebih tua (dewasa) memaksa yang lebih muda untuk menjadi ratu dan akhirnya meninggal juga.
Setelah kejadian demi kejadian, seperti biasa anak penggembala itu berkumpul dan bermain di tempat yang memiliki keanehan tersebut. Hewan-hewan mereka dikumpulkan di sebuah tempat yang lapang untuk mencari makan. Tidak khawatir hewannya akan merusak ataupun hilang. Salah satu dari anak yang berkumpul mengatakan bahwa dirinya bermimpi ada seseorang anak yang kuat dan menjadi ratu. Anak yang dimaksud tidur di atas batu. Sekumpulan anak tersebut mulai mencari, bertemulah mereka dengan si Cekohrogoh anak dari Ki Mundhingsari yang pada waktu itu pernah tidur diatas batu kemudian si Cekohrogoh dipaksa menjadi ratu.
Cekohrogoh adalah anak yang nakal, walaupun ia berada dalam kumpulan anak-anak gembala dia datang tidak untuk menggembalakan hewannya. Dia hanya mencari tempat untuk menenangkan diri dan minggat karena tidak patuh terhadap kedua orangtuanya. Cekohrogoh bersedia menjadi ratu dengan persyaratan semuanya akan patuh terhadap perintahnya. Anehnya anak-anak yang berkumpul seperti terkena hipnotis, semua patuh dan taat pada Cekohrogoh. Selain itu Cekohrogoh juga menjadi bersinar cahaya dan tampak berwibawa. Permainan pun berubah menjadi sesuatu hal yang serius. Dari perintah Cekorogoh, anak-anak penggembala hewan mendirikan kraton. Hal itu terjadi hingga ke telinga para orang tua.
Cekohrogoh jadi raja di Kraton Pengging yang berjulukan Kyai Ageng Sri Makurung. Dalam pemerintahannya Kyai Ageng Sri Makurung dibantu oleh anak-anak yang dulunya teman bermain yang dijadikan prajurit dan pembantu pemerintahan yang bertempat di Pengging di bawah kaki Gunung Merapi.
Mengikuti Sayembara Majapahit
Kraton Pengging namanya santer terdengar dan di elu-elukan para masyarakat karena tanahnya yang subur terletak antara Gunung Lawu dan Gunung Merapi . Hal itu membuat kekhawatiran Prabu Brawijaya V di Majapahit. Karena Majapahit belum merasa puas jika belum menguasai Nusantara, masih ada yang berani menampilkan dirinya di Pelataran Kraton Majapahit dan Pengging harus ditaklukkan. Untung pada waktu itu Ki Sabdapalon member rekomendasi dan meredamkan amrah Prabu Brawijaya. Ki Sabdapalon berkata bahwa dirinya mendapat wahyu tentang Pengging, Pengging jangan diajak untuk berperang namun sebaliknya, Sang Prabu membuat sayembara.
Pada saat yang bersamaan Majapahit sedang menghadapi Ratu Bali yang tidak mau tunduk pada Majapahit. Menanggapi saran dari Ki Sabdapalon, Prabu Brawijaya woro-woro, mengumumkan bahwa siapa saja yang bisa menaklukan Bali bakal dijadikan menantunya.
Ki Ageng Sri Makurung datang ke Majapahit untuk mengikuti sayembara. Berangkatlah Ki Ageng Sri Makurung untuk menaklukan Bali. Bukan hal yang sulit untuk menaklukan Bali. Karena Ratu di Bali adalah Rama dari Ki Mundhingsari yang tidak lain dan tidak bukan adalah eyang dari Ki Ageng Sri Makurung. Usahanya pun berhasil, Ki Ageng Sri Makurung diberi hadiah oleh Prabu Brawijaya dan diangkat menjadi keluarga kerajaan serta menjadi ratu di Pengging dengan julukan Adipati Andayaningrat.
Pernikahannya dengan putri Majapahit mempunyai 3 keturunan. Anak Pertama bernama Keboamiluhur yang berada di Malangan, kedua Ki Ageng Kebo Kanigara dan ketiga Kebo Kenanga yang merupakan pengganti tahta di Pengging.
Pustaka : (Pengging, Kratone Bocah Angon ;Thojib Djumadi; Jayabaya; Reksopustoko Mangkunegaran; B555)
Rabu, 11 September 2013
Kisah tragis & misterius dibalik lagu Nina Bobok
Kisah ini dicuplik dari sumber yang tidak diketahui keabsahannya, akan tetapi cerita ini beredar di kalangan penggemar kisah misteri.
Satu lagu dengan bait sederhana yang digunakan banyak orang tua untuk mengantar tidur anak - anaknya. Keliatan tidak ada yang ganjil dari lagu itu, tapi pernahkah anda coba bertanya pada seseorang tentang siapakah gadis bernama Nina dari lagu tersebut?
Beberapa dekade setelah kedatangan Cornelis de Houtmen di Banten, warga negara Belanda dari berbagai kalangan sudah memenuhi pulau Jawa dan pulau - pulau lainnya. Alkisah seorang gadis belia asal Belanda bernama Nina Van Mijk. Gadis yang berasal dari keluarga komposer musik klasik sederhana yang menetap di Nusantara untuk memulai hidup baru karena terlalu banyak saingan musisi di Belanda
Hidup Nina berjalan normal seperti orang - orang Belanda di Nusantara pada umumnya, berjalan - jalan, bersosialisasi dengan penduduk pribumi, dan mengenal budaya Nusantara. Kedengaran indah memang, tapi semenjak kejadian aneh itu keadaan menjadi berbanding terbalik. Kejadian aneh itu terjadi pada suatu malam badai, petir tak henti - hentinya saling bersahutan. Dari alam kamarnya Nina menjerit keras sekali, diikuti suara vas bunga yang terjatuh dan pecah. Ayah, ibu serta pembantu keluarga Nina mengambur kedalam kamar Nina. Pintu terkunci dari dalam, akhirnya pintu itu didobrak oleh ayah Nina.Dan satu pemandangan mengerikan disaksikan oleh keluarga itu, terlihat diranjang tidur Nina melipat tubuhnya kebelakang persis dalam posisi kayang merayap mundur sambil menjerit - jerit dan sesekali mengumpat - ngumpat dengan bahasa Belanda. Rambutnya yang lurus pirang menjadi kusut tak keruan, kelopak matanya menghitam pekat. Itu bukan Nina, itu adalah jiwa jahat yang bersemayam ditubuh Nina. Nina kerasukan.
Sudah seminggu berlalu semenjak malam itu, Nina dipasung didalam kamarnya. Tangannya diikat dengan seutas tambang. Keadaan Nina kian memburuk, tubuhnya semakin kurus dan pucat. Ibu Nina hanya bisa menangis tiap malam ketika mendengar Nina menjerit - jerit. Ayah Nina tidak tahu harus berbuat apa karena kejadian aneh seperti ini tidak pernah diduganya. Karena putus asa dan tidak tahan melihat keadaan anaknya, ayah Nina pulang ke Belanda sendirian meninggalkan anak dan istrinya di Nusantara. Pembantu rumanya pun pergi meninggalkan rumah itu karena takut. Tinggalah Nina yang dipasung dan Ibunya di satu rumah tak terurus.
Kembali lagi pada satu malam badai, namun aneh, kala itu terdengar Nina tidak lagi menjerit - jerit. Kamarnya begitu hening. Perasaan ibu Nina bercampur aduk antara bahagia dengan takut. Bahagia bila ternyata anaknya sudah sembuh, tetapi takut bila ternyata anaknya sudah....meninggalIbu Nina mengintip dari sela - sela pintu kamar Nina, dan ternyata Nina sedang duduk tenang diatas ranjangnya. Tak berkata apa - apa tapi sejurus kemudian dia menangis sesengukan. Ibu Nina langsung masuk kedalam kamarnya dan memeluk Nina erat - erat dan melepas tali tambang yang melilit tangannya. Sambil menangis Nina berkata
"Ibu.... aku takut...." Lalu ibunya menjawab sambil menangis pula"Tak apa nak, Ibu ada disini. Kamu tidak perlu takut lagi. Ayo kita makan bersama"“Aku tidak lapar, tetapi bolehkah aku meminta sesuatu?”“Apapun nak...! apapun.....!!”“Aku ngantuk, rasanya aku akan tertidur sangat pulas. Mau kah ibu nyanyikan sebuah lagu pengantar tidur untukku?”Ibu Nina terdiam, agak sedikit tidak percaya dari apa yang didengar anaknya. Tapi kemudian ibu Nina berkata sambil mencoba tersenyum.“Baiklah, ibu akan menyanyikan sebait lagu.”Saya yakin anda sudah tahu lagu apa yang dinyanyikan oleh Ibu Nina. Setelah sebait lagu itu Nina terlelap damai dengan kepala dipangkuan ibunya, wajah anggunnya telah kembali. Ibu Nina menghela nafas lega, anaknya telah tertidur pulas.Tapi.....Nina tidak bergerak sedikit pun, nafasnya tidak terdengar, denyut nadinya menghilang, aliran darahnya berhenti. Nina telah tertidur benar – benar lelap untuk selamanya dengan sebuah lagu ciptaan ibunya sebagai pengantar kepergian dirinya setelah berjuang melawan penderitaan.
Konon katanya ketika anda menyanyikan lagu ini untuk pengantar tidur anak – anak anda yang masih bayi, tepat ketika anda meninggalkan kamar tempat anak anda tertidur. Nina akan datang ke kamar anak anda dan membuat anak anda tetap terlelap hingga keesokan paginya dengan sebuah lagu.
Kisah Tentang Terciptanya Aksara Jawa HaNaCaRaKa
Dikisahkan, ada seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna, yaitu Ajisaka.
Ajisaka tinggal di pulau Majethi bersama dua orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora dan Sembada. Kedua abdi ini sama-sama setia dan sakti.
Satu saat Ajisaka ingin pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia menunjuk Dora untuk menemaninya mengembara. Sedangkan Sembada, disuruh tetap tinggal di pulau Majethi. Ajisaka menitipkan pusaka andalannya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.
Pada lain kisah, di pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang sangat makmur sejahtera yaitu kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup sejahtera. Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bernama Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya.
Pada suatu hari ki juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas membuat makanan untuk prabu Dewatacengkar dia sudah pernah mengidangkan aneka jenis makanan. Ketika dia sudah kehabisan ide tentang jenis makanan apa yang belum dihidangkan kepada sang raja, dia menghidangkan hidangan yang dicampur dengan daging manusia.
Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia merasakan rasa yang sangat enak dan berbeda pada masakan itu. Dia bertanya daging apakah itu. Ki juru masak mengatrakan bahwa itu daging mahluk jelmaan yang tidak bisa sembarang disebutkan namanya meskipun kepada prabu Dewatacengkar.
Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya memasakkan hidangan daging jenis setiap hari. Dia meminta sang patih kerajaan supaya mencari daging mahluk jelmaan itu dengan segala cara agar bisa disantapnya setiap hari.
Oleh karena terus menerus makan daging manusia, sifat Dewatacengkar berubah 180 derajat. Dia berubah menjadi raja yang kejam lagi bengis. Dia menjadi tidak peduli ketika akhirnya dia tau kalau daging yang disantapnya sekarang adalah daging rakyatnya.
Rakyatnya pun sekarang hidup dalam ketakutan. Tak satupun rakyat berani melawannya, begitu juga sang patih kerajaan.
Pada saat seperti itu, Ajisaka dan Dora tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka heran dengan keadaan yang sepi dan menyeramkan.
Dari seorang rakyat, beliau mendapat cerita kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia. Ajisaka menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan kepada Dewatacengkar agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju dan kasihan. Tetapi Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.
Dewatacengkar keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih ingin menyerahkan diri.
Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan asalkan dia diberikan tanah seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu harus Dewatacengkar. Sang prabu menyetujuinya. Kemudian mulailah Dewatacengkar mengukur tanah.
Saat digunakan untuk mengukur, tiba-tiba ikat kepala Dewatacengkar meluas tak terhingga. Kain itu berubah menjadi keras dan tebal seperti lempengan besi dan terus meluas sehingga mendorong Dewatacengkar. Dewatacengkar terus terdorong hingga jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Ajisaka kemudian dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan.
Setelah penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk mengambil pusaka andalannya.
Pergilah Dora ke pulau Majethi. Sesampai di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat akan pesan Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka.
Dora yang juga berpegang teguh pada perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa supaya pusaka itu diserahkan. Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur.
Pada awalnya mereka berdua hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan temannya sendiri. Tetapi pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah. Sampai pada titik akhir yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena sama-sama sakti.
Berita tewasnya Dora dan Sembada terdengar sampai Ajisaka. Dia sangat menyesal atas kesalahannya yang membuat dua punggawanya meninggal dalam pertarungan. Dia mengenang kisah kedua punggawanya lewat deret aksara. Berikut tulisan dan arti dari cerita itu :
Ha Na Ca Ra Ka = ada caraka (utusan)
Da Ta Sa Wa La = mereka bertengkar
Pa Dha Ja Ya Nya = sama-sama kuatnya
Ma Ga Ba Tha Nga = sama-sama menjadi mayatnya
Jumat, 05 Oktober 2007
The End of The World versi Kalender Maya

Pemusnahan Berkali-kali
Didalam beberapa mitologi-mitologi kuno bahwa bumi ini pernah dilanda banjir dahsyat yang mengerikan, hampir semua peradaban-peradaban zaman dulu ada cerita tentang bencana yang satu ini, misalnya diantara lebih dari 130 suku Indian di Benua Amerika hampir tidak ada suku yang tidak memitoskan banjir dahsyat sebagai topik.
Mari ingat Kisah Nabi Nuh (Noah). Dikisahkan didalam Al-Qur'an maupun Bible, bahwa seluruh peradaban manusia pada saat itu musnah, terkecuali bagi orang-orang yang percaya pada ajaran Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Nuh yang selamat dari bencana air bah yang maha dahsyat itu.
Di sekitar pedalaman kaki Gunung Himalaya, Tibet misalnya, orang-orang menjumpai sebuah suku, keturunan dan rupa mereka hampir mirip dengan orang Yunani. Konon katanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung masih hidup atas peristiwa banjir yang dahsyat itu.
Senin, 09 Juli 2007
Misteri Candi Rancaekek di Bojongmenje
sumber: Koran Tempo
Candi itu ditemukan Edi Djunaedi, 58 tahun bersama Ahmad, Dedi, dan Dadi, warga Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung Minggu (18/agt/2002).
Ketika itu, mereka sedang meratakan tanah yang sebagian diantaranya menjadi pekuburan umum. Saat itulah, cangkul Edi terantuk sebuah benda keras. Setelah digali, ternyata batu hitam persegi panjang berukuran sekitar 60 X 20 centimeter. Ada sesuatu yang mencurigakan mereka memanggil warga lainnya. Penggalian dilanjutkan lagi dengan melibatkan warga sekitar.
Setelah mencapai kedalaman 1,5 meter, panjang 4 meter dan lebar 3 meter muncullah sesuatu yang sama sekali tidak mereka duga. Sebuah tumppukan batu yang mirip canding berbentuk bulat dengan diameter sekitar 8 sampai 10 meter.
Candi itu ditemukan Edi Djunaedi, 58 tahun bersama Ahmad, Dedi, dan Dadi, warga Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung Minggu (18/agt/2002).
Ketika itu, mereka sedang meratakan tanah yang sebagian diantaranya menjadi pekuburan umum. Saat itulah, cangkul Edi terantuk sebuah benda keras. Setelah digali, ternyata batu hitam persegi panjang berukuran sekitar 60 X 20 centimeter. Ada sesuatu yang mencurigakan mereka memanggil warga lainnya. Penggalian dilanjutkan lagi dengan melibatkan warga sekitar.
Setelah mencapai kedalaman 1,5 meter, panjang 4 meter dan lebar 3 meter muncullah sesuatu yang sama sekali tidak mereka duga. Sebuah tumppukan batu yang mirip canding berbentuk bulat dengan diameter sekitar 8 sampai 10 meter.
Keris, apakah itu?
Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mata dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual.
Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seorang pria baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seorang pria baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
- Curiga, secara harafiah artinya keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
- turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol masa kini adalah motor atau mobil)
- wisma adalah rumah
- wanita arti khususnya isteri
- kukila arti harafiahnya adalah burung.Arti simbolik burung di sini, bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni.
Ramalan Jayabaya
sumber : topmdi
Prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendenag, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dgn mengambil orang dari India, Kandi, Siam. Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G. Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan
Prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendenag, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dgn mengambil orang dari India, Kandi, Siam. Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G. Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan
Jumat, 06 Juli 2007
Tembang "Ilir-ilir" karangan Sunan Kali Jogo
Banyak orang yang mengenal tembang lagu Ilir-ilir dan Dandang Gula, khususnya dikalangan orang jawa. Walaupun terkesan enteng, tetapi sesungguhnya didalamnya sarat dengan nilai dakwah dan tasawuf yang tinggi. Sebagai seorang wali Allah yang sangat jenius dalam bersyiar, beliau menggunakan budaya kultur setempat sebagai sarana pendekatan yang sangat efektif. Mari kita kupas tembang ini.
Tembang Ilir-ilir ini merupakan buah cipta sunan Kalijaga, namun ada juga literatur yang mengatakan bahwa yang menciptakan tembang ini adalah sunan Ampel.
Bagi yang mungkin belum tahu atau sudah lupa tembangnya, ini dia lengkapnya:
"
Lir-ilir, lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh penganten anyar.
Cah angon-cah angon
Peneken blimbing kuwi
Lunyu lunyu ya peneken
Kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro.. dototiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomana jlumatono
Kanggo seba mengko sore.
Mumpung jembar kalangane
Mumpung padang rembulane
Yo surake
Surak hayo !
"
Tembang Ilir-ilir ini merupakan buah cipta sunan Kalijaga, namun ada juga literatur yang mengatakan bahwa yang menciptakan tembang ini adalah sunan Ampel.
Bagi yang mungkin belum tahu atau sudah lupa tembangnya, ini dia lengkapnya:
"
Lir-ilir, lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh penganten anyar.
Cah angon-cah angon
Peneken blimbing kuwi
Lunyu lunyu ya peneken
Kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro.. dototiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomana jlumatono
Kanggo seba mengko sore.
Mumpung jembar kalangane
Mumpung padang rembulane
Yo surake
Surak hayo !
"
Jawa: Serat Kalatida
Salah satu cuplikan karya sastra tembang "Sinom" dalam "Serat Kalatido" bab.8, seperti di bawah ini :
Amenangi jaman edan ,ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni,boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Ndilallah karsa Allah
Sakbeja-bejane kang lali
luwih beja kang eling lawan waspada..
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak,
ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
akhirnya menjadi ketaparan.
Namun dari kehendak Allah,
seuntung untungnya orang yang lupa diri,
masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada.
Amenangi jaman edan ,ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni,boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Ndilallah karsa Allah
Sakbeja-bejane kang lali
luwih beja kang eling lawan waspada..
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak,
ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
akhirnya menjadi ketaparan.
Namun dari kehendak Allah,
seuntung untungnya orang yang lupa diri,
masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada.
Jawa: Serat Centini ver. Wikipedia


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
Serat Centhini, atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Penggubahan
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Kamis, 05 Juli 2007
Jawa: Serat Centhini
Islam dan budaya Jawa hidup berdampingan. Serat Paku Buwono V ini buktinya.Adapun manusia berasal dari cahaya gaib. Apabila meninggal atau zaman kiamat, manusia akan kembali pada zat yang gaib. Yakni pulang ke tempat asalnya, Manunggaling Kawula-Gusti.
Suluk Serat Centhini, yang meramu khazanah kultur Jawa dan ajaran Islam dengan merujuk pelbagai Kitab Kuning. Suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan berupa tembang, sebuah bentuk puisi Jawa. Tak syak, orang pun bertanya: bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.
Suluk Serat Centhini, yang meramu khazanah kultur Jawa dan ajaran Islam dengan merujuk pelbagai Kitab Kuning. Suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan berupa tembang, sebuah bentuk puisi Jawa. Tak syak, orang pun bertanya: bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.
Tentang Budaya Jawa
Sebelum bangsa-bangsa dari luar Nusantara berdatangan ke Nusantara untuk menjajakan barang dagangannya dan menawarkan atau memaksakan sikap pikirnya, orang-orang Jawa yang sejati sudah mempunyai peradabannya sendiri.
Jawa yang sejati ini sekarang sudah jarang sekali. Demikian menurut seorang sufi dan pelukis (sudah almarhum) dari Klaten, Jateng, yang sudah menulis lebih dari 50 risalah mengenai faham Jawa. Paling banyak tinggal satu persen dari semua orang yang menyebut dirinya Jawa dan atau Jawa secara badani. Cara menghitungnya adalah berdasar pengalaman beliau sendiri - yang diperkuat oleh pengalaman seorang sufi lain di sebuah dusun terpencil di kawasan Ponorogo, Jatim, masih hidup - yang tidak mungkin saya uraikan di sini. Sekedar untuk mengetahui ciri-cirinya, bisalah dikatakan bahwa rata-rata manusia yang dianggap Jawa yang namanya paling kerap disebut-sebut di dalam media di Indonesia adalah bukan Jawa yang sejati.
Sang Paring Gesang
Dengan peradaban milik sendiri itu orang-orang Jawa sudah lama sekali berpikir sendiri mengenai nilai-nilai rohaninya. Mereka sudah punya faham keselamatan dan jalan penyelamatan sendiri. Mereka sudah mengenal Sesembahan sendiri yang disebut Gusti, Pangeran, Sang Paring Gesang (Sang Pemberi Kehidupan), dan masih banyak sebutan lagi.
Dengan demikian jalan peradaban menyangkut sikap pikir perihal keselamatan dan penyelamatan yang datang dari luar, bagi orang-orang Jawa, adalah nilai tambah yang disyukuri. Sedang terhadap nilai-nilai yang dirasa tidak cocok dan atau bertentangan, orang-orang Jawa pada umumnya menganginkan saja. Orang Jawa adalah juara pertama peradaban dunia dalam hal menganginkan perkara-perkara yang tidak baik.
Jawa yang sejati ini sekarang sudah jarang sekali. Demikian menurut seorang sufi dan pelukis (sudah almarhum) dari Klaten, Jateng, yang sudah menulis lebih dari 50 risalah mengenai faham Jawa. Paling banyak tinggal satu persen dari semua orang yang menyebut dirinya Jawa dan atau Jawa secara badani. Cara menghitungnya adalah berdasar pengalaman beliau sendiri - yang diperkuat oleh pengalaman seorang sufi lain di sebuah dusun terpencil di kawasan Ponorogo, Jatim, masih hidup - yang tidak mungkin saya uraikan di sini. Sekedar untuk mengetahui ciri-cirinya, bisalah dikatakan bahwa rata-rata manusia yang dianggap Jawa yang namanya paling kerap disebut-sebut di dalam media di Indonesia adalah bukan Jawa yang sejati.
Sang Paring Gesang
Dengan peradaban milik sendiri itu orang-orang Jawa sudah lama sekali berpikir sendiri mengenai nilai-nilai rohaninya. Mereka sudah punya faham keselamatan dan jalan penyelamatan sendiri. Mereka sudah mengenal Sesembahan sendiri yang disebut Gusti, Pangeran, Sang Paring Gesang (Sang Pemberi Kehidupan), dan masih banyak sebutan lagi.
Dengan demikian jalan peradaban menyangkut sikap pikir perihal keselamatan dan penyelamatan yang datang dari luar, bagi orang-orang Jawa, adalah nilai tambah yang disyukuri. Sedang terhadap nilai-nilai yang dirasa tidak cocok dan atau bertentangan, orang-orang Jawa pada umumnya menganginkan saja. Orang Jawa adalah juara pertama peradaban dunia dalam hal menganginkan perkara-perkara yang tidak baik.
Langganan:
Postingan (Atom)