Ki Ageng Pengging Sepuh adalah ayah dari Ki Kebo Kanigara dan Ki Ageng Pengging alias Kebo Kenanga.
Kebo Kenanga menikah dengan Nyai Ageng Tingkir, sehingga beliau adalah kakek dari Karebet yang kemudian berjuluk Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Sultan Hadiwijaya Pajang.
Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri sebelum membuka dan mendirikan tanah perdikan Pengging, bergelar Pangeran Handayaningrat yg merupakan salah satu putera Brawijaya V/Bravijaya Pamungkas yang setelah Majapahit runtuh menyepi ke Gunungkidul
Nama asli Pangeran Handayaningrat / Andayaningrat adalah Jaka Sengara.
Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan Ratu Pembayun putri Brawijaya raja Majapahit (versi babad), yang diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga.
Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya.
Jaka Sengara kemudian menjadi bupati Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat).
Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda.
Kebo Kanigara yang setia pada agama lama, Budha Siwa meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi.
Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.
Kebo Kenanga kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Walaupun masih belia, kedalaman spiritualitas Ki Ageng Pengging tidak bisa diragukan lagi. Pencapaian spiritual-nya, sampai pada kondisi MATI SAJERONING URIP, URIP SAJERONING PATI (MATI DIDALAM HIDUP, HIDUP DIDALAM KEMATIAN).
Beliau mampu dalam beberapa hari, bermeditasi tanpa bernafas. Raga beliau mampu menyerap Praana (oksigen) melalui seluruh pori-pori tubuh tanpa menggunakan pergerakan paru-paru.
Bila tidak jeli, mereka yang melihat kondisi Ki Ageng Pengging sewaktu bermeditasi, pasti akan menyangka beliau meninggal. Namun bagi yang benar-benar jeli, mereka akan tahu, jantung beliau masih tetap berdetak, sangat-sangat halus. Dan darah beliau masih tetap mengalir, walau dalam percepatan yang sangat-sangat halus.
Begitu beliau diangkat sebagai penguasa Pengging pengganti ayahandanya, dalam usia belia, beliau menikah. Seorang gadis dari daerah Tingkir, masih adik kandung Ki Ageng Tingkir, beliau persunting. (Dalam versi lain, Ki Ageng Pengging menikahi Nyi Ageng Mendola, putri Sunan Kalijaga, hasil perkawinan Sunan Kalijaja dengan Siti Zaenab, putri Syeh Siti Jenar : Damar Shashangka).
Pengging benar-benar damai. Jauh dari hiruk pikuk perpolitikan, Jauh dari pertikaian-pertikaian. Sunan Kalijaga-pun, sering berkunjung ke Pengging bersama beberapa santri beliau.
Dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pengging senantiasa mendapat petuah-petuah yang sangat berharga. Walaupun Sunan Kalijaga beragama Islam dan Ki Ageng Pengging beragama Shiwa Buddha, kedekatan hubungan mereka sudah tidak bisa digambarkan lagi. Secara khusus, Ki Ageng Pengging menyediakan musholla di kompleks Dalem Agung beliau. Ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat beliau yang beragama Islam.
Dari sahabat-sahabat Islam beliau inilah, Ki Ageng Pengging tahu akan sosok Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Sosok ulama yang berseberangan dengan Dewan Wali Sangha.
Beberapakali dalam meditasinya, beliau mencoba menghubungi Syeh Lemah Abang. Dan Ki Ageng Pengging tersenyum puas manakala salam beliau senantiasa dijawab oleh Syeh Lemah Abang dengan senyuman yang luar biasa damainya.
Ki Ageng Pengging tahu, Syeh Lemah Abang bukan manusia sembarangan. Beberapakali pula, mereka bertemu didalam alam meditasi. Ki Ageng Pengging mencium kaki Syeh Lemah Abang dengan penuh hormat. Dan Syeh Lemah Abang senantiasa mengusap-usap kepala Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih.
Sunan Kalijaga tahu akan semua itu. Dan beliau tersenyum bangga setiap kali dalam taffakur-nya, melihat Syeh Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging senantiasa bertemu, walau dalam alam lain. Walau tidak dialam nyata.
Dan manakala, sosok Syeh Lemah Abang mendadak berkunjung ke Pengging, betapa bahagianya Ki Ageng Pengging. Walau belum pernah bertemu secara fisik, Ki Ageng Pengging dan Syeh Lemah Abang, sudah sedemikian dekatnya. Begitu Syeh Lemah Abang hadir, Ki Ageng Pengging langsung bersujud didepan beliau. Mencium kaki beliau. Penuh hormat dan sangat-sangat bahagia.
Pernah selama tiga hari tiga malam, keduanya meluangkan waktu untuk berdiskusi tentang intisari spiritualitas. Tidak hanya sekedar berdiskusi, keduanyapun masuk kekedalaman batin masing-masing. Dan disana, Syeh Lemah Abang, bersorak gembira begitu melihat Ki Ageng Pengging, dibawah awan-awan mind yang tenang, tengah ada dibawah beliau, tidak terlampau jauh. Dan disana, Ki Ageng Pengging mencakupkan kedua tangannya didepan dada, menyembah, sembari memandang Syeh Lemah Abang dengan senyum kedamaian.
Karena seringnya berkunjung ke Pengging, Syeh Lemah Abang akhirnya dipertemukan dengan sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging. Beberapa bangsawan muda keturunan Majapahit yang masing-masing juga memiliki wilayah kekuasaan. Mereka antara lain, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Ketiganya bahkan lantas tertarik memeluk Islam tanpa paksaan. Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, kelak terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang.
Namun diam-diam, mata-mata Demak Bintara mengetahui semua itu. Laporan segera masuk ke hadapan Sultan Demak. Dan Sultan Demak meneruskan informasi itu ke Dewan Wali Sangha.
Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Dewan Wali Sangha. Dan Dewan Wali memerintahkan Sultan Demak agar semakin menungkatkan kegiatan mata-mata di wilayah Pengging. Sultan Demak merespon perintah tersebut, Jumlah pasukan mata-mata semakin ditambah di wilayah Pengging. Demak semakin waspada. Karena bila Pengging bergerak, dapat dipastikan, dukungan dari berbagai daerah akan mudah diraih. Apalagi ditambah sosok Syeh Lemah Abang dan Sunan Kalijaga disana, Pengging akan berubah menjadi kekuatan yang sangat menakutkan. Dan hal ini, adalah ancaman serius bagi keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara.
Padahal, ketakutan Demak Bintara hanyalah ketakutan semu. Karena di Pengging, tidak ada pergerakan apapun. Ki Ageng Pengging tidak mempunyai rencana apapun untuk berbuat makar. Demak Bintara, hanya ketakutan sendiri.
Sunan Kalijaga membaca gelagat tersebut. Beliau memperingatkan Ki Ageng Pengging untuk waspada. Namun, Ki Ageng Pengging bagaimamapun juga masih berusia belia. Beliau kadang masih kurang perhitungan. Beliau sangat mencintai spiritualitas. Dan kecintaannya ini, membuat beliau tanpa perhitungan yang matang, menawarkan wilayah Pengging untuk dipakai sebagai tempat kepindahan Pesantren Krendhasawa milik Syeh Lemah Abang.
Syeh Lemah Abang memang mempunyai rencana untuk memindahkan lokasi pesantrennya yang ada di Cirebon. Hal ini berkaitan dengan situasi politik Cirebon yang semakin memanas akibat terus-terusan menjalankan agresi militer ke Pajajaran. Cirebon sudah tidak kondusif lagi bagi peningkatan Kesadaran. Sudah sangat-sangat berubah. Sudah tidak sama lagi dengan Cirebon dimasa Syeh Dzatul Kahfi masih hidup.
Namun, Sunan Kalijaga melarang Syeh Lemah Abang menerima tawaran itu. Karena bila Syeh Lemah Abang menerimanya, pemerintah Demak Bintara akan menuduh beliau bersekongkol dengan Ki Ageng Pengging hendak mengadakan gerakan subversif. Syeh Lemah Abang memang tidak begitu memahami peta perpolitikan. Dan Sunan Kalijaga yang lebih paham. Oleh karenanya, Syeh Lemah Abang menolak tawaran Ki Ageng Pengging. Beliau memutuskan untuk tetap bertahan di Cirebon.
Dan, kabar bahwasanya Ki Ageng Pengging menawarkan wilayah Pengging sebagai tempat kepindahan pesantren Krendhasawa, diartikan lain oleh Pemerintahan Demak. Sultan Demak yang sudah terlanjur ketakutan, menyimpulkan bahwa memang tengah terjadi gerakan rahasia antara Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang.
Dan Dewan Walu Sangha-pun bertindak. Sunan Giri Kedhaton, mengeluarkan fatwa bahwa Syeh Lemah Abang adalah musuh kekhilafahan Islam di Jawa, dan tugas Sultan Demak dan Sultan Cirebon ( Sunan Gunung Jati ) untuk menangkap Syeh Lemah Abang.
Terdengarlah kabar, Syeh Lemah Abang dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah Demak Bintara dengan tuduhan MENGAJARKAN AJARAN SESAT dan HENDAK MENGADAKAN MAKAR.
Tak urung, Lontang Asmara, Sunan Panggung dan murid-murid Syeh Lemah Abang yang lain, ikut dijadikan sasaran pemerintah Demak.
Kabar ini sampai juga ke Pengging. Ki Ageng Pengging berkabung. Begitu juga Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh. Untung, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, lepas dari daftar buruan pemerintah Demak. Tidak seperti Lontang Asmara dan Sunan Panggung.
Ki Ageng Pengging benar-benar merasa kehilangan. Dan beliau semakin menyadari, bagaimana posisinya di mata Sultan Demak. Dirinya dipandang sebagai duri dalam daging. Musuh dalam selimut. Tak urung, setelah Syeh Lemah Abang pasti akan tiba giliran beliau menjadi target untuk disingkirkan!
Ki Ageng Pengging telah siap untuk itu. Siap menunggu giliran untuk disingkirkan. Bukan untuk melakukan perlawanan bersenjata, namun siap menerima ajal jika memang Sultan Demak menghendakinya. Ki Ageng Pengging sangat merindui sosok Syeh Lemah Abang. Apabila Syeh Lemah Abang pergi dari dunia maya ini, maka Ki Ageng Pengging berniat untuk mengikutinya. Apalah arti dunia bagi Ki Ageng Pengging. Dunia sama sekali sudah tidak menarik minat beliau.
Beberapa bulan setelah wafatnya Syeh Lemah Abang, Ki Ageng Pengging mengirimkan surat kepada Sultan Demak. Isi surat tersebut sangat mengejutkan. Ki Ageng Pengging befmaksud mengakhiri pemerintahan Pengging. Dan beliau meminta kepada Sultan Demak agar memasukkan wilayah Pengging ke kadipaten terdekat, sesuai kebijaksanaan Sultan Demak. Bahkan, Ki Ageng Pengging meminta agar Sultan Demak melepas segala jabatan politik beliau.
Surat ini menggemparkan Demak Bintara. Begitu menerima surat tersebut, Sultan Demak mengadakan sidang mendadak dengan para petinggi Kesultanan. Sidang berjalan alot. Dan hasil keputusan sidang, menyetujui permintaan Ki Ageng Pengging, walaupun sikap waspada tetap harus dijaga demi menghadapi maksud tersembunyi dari permintaan tersebut.
Keesokan harinya, Sultan Demak memerintahkan Patih Wanasalam, Patih Agung Kesultanan Demak Bintara, untuk berangkat menuju Pengging, menemui Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam ditugaskan untuk membacakan surat keputusan Sultan Demak dihadapan Ki Ageng Pengging sekaligus memenuhi keinginan Ki Ageng Pengging, mengadakan pelepasan jabatan. Disamping itu pula, Ki Wanasalam mendapat pesan khusus agar terus mencari informasi secara diam-diam tentang maksud sesungguhnya dari keinginan Ki Ageng Pengging.
Rombongan Patih Agung Demak Bintara ini, sampai juga di wilayah Pengging. Kedatangan rombongan pasukan Kesultanan yang serba mendadak ini, menggemparkan Pengging. Para Prajurid Pengging, tanpa di komando, segera mempersiapkan diri untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Pengging mendadak tegang.
Rombongan dari Demak ini disambut oleh Ki Ageng Pengging. Kedatangannya yang mendadak, tanpa pemberitahuan, memang disengaja agar bisa melihat kondisi Pengging yang sesungguhnya.
Seluruh pasukan Demak diberi tempat istirahat tersendiri. Ki Patih Wanasalam, diberikan tempat khusus. Perjalanan yang agak jauh, membuat Sang Patih kecapaian. Setelah disambut oleh Ki Ageng Pengging, Ki Patih Wanasalam, diberikan waktu untuk beristirahat sejenak.
Manakala dirasa sudah pulih tenaganya, Ki Wanasalam mengutus seorang prajurid agar menghadap Ki Ageng Pengging. Ki Ageng diminta bersiap sedia karena Ki Wanasalam hendak menyampaikan amanat Sultan Demak. Dan prajurid yang diutus, kembali dengan menyampaikan pesan dari Ki Ageng agar Ki Patih berkenan menuju Bale Pisowanan.
Ki Wanasalam, diiringi beberapa pengawal khusus, berangkat terlebih dahulu menuju Bale Pisowanan. Setelah Ki Patih sudah tiba disana, baru Ki Ageng Pengging menyusul. Hal ini adalah etika kerajaan Jawa, dimana seorang pejabat besar, harus terlebih dahulu ada di Bale Pisowanan, baru pejabat dibawahnya datang menghadap.
Setelah keduanya berada di Bale Pisowanan, Ki Ageng Pengging menyatakan kesiapannya mendengarkan amanat Sultan Demak Bintara. Ki Wanasalam segera menjelaskan, bahwa surat Ki Ageng telah diterima oleh Sultan Demak. Dan Sultan Demak telah mengadakan sidang khusus. Hasil keputusan sidang, telah tertulis didalam gulungan Surat Keputusan Sultan yang kini dipegang oleh Ki Wanasalam. Sebelum dibacakan, Ki Wanasalam menanyakan kesungguhan isi surat yang dikirimkan Ki Ageng Pengging. Lantas rencana apa yang hendak dilakukan Ki Ageng apabila keinginannya dikabulkan oleh Sultan Demak ?
Ki Ageng menghaturkan sembah sebelum menjawab, lantas beliau menuturkan bahwasanya apa yang telah beliau tulis dalam surat yang telah dikirimkan ke hadapan Sultan Demak memang benar-benar telah menjadi niatan dan kebulatan tekad beliau. Manakala keinginannya yang tertulis didalam surat tersebut dikabulkan, maka beliau hanya meminta agar pajak wilayah Pengging tidak dinaikkan serta memberikan tanah kepada Ki Ageng Pengging cukup beberapa jung ( hektar ) saja, sekedar sebagai tempat tinggal dan lahan bersawah.
Ki Wanasalam belum puas, dia terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh selidik. Tentang hubungannya dengan Sunan Kalijaga, tentang nasib para prajurid Pengging kelak dikemudian hari, tentang jumlah perenjataan Pengging, tentang perekonomian Pengging dan tentang hubungan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang dan para murid-muridnya. Ki Wanasalam sengaja ingin mendengar langsung jawaban dari Ki Ageng Pengging, demi untuk mencari-cari hal-hal yang janggal dari kata-kata beliau.
Namun, tidak satupun jawaban yang diberikan oleh Ki Ageng Pengging nampak ada kejanggalan disana. Ki Wanasalam tetap belum sepenuhnya percaya, dan pada akhirnya, Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan simbolik. Pertanyaan yang sudah dipesankan oleh Sultan Demak.
Pertanyaannya adalah sebagai berikut :
“Mana yang dipilih, ATAS atau BAWAH. KOSONG atau ISI?”
Ki Ageng Pengging tersenyum. Sejenak beliau terdiam. Lantas memberikan jawaban :
“Manakah yang hendak saya pilih ? Tidak ada. Sebab baik ATAS, BAWAH, KOSONG maupun ISI. Semuanya adalah milik saya.”
Ki Wanasalam terkejut mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. Sekali lagi Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan serupa. Dan kembali Ki Ageng Pengging memberikan jawaban yang sama, dan beliau tambahi :
“Janganlah salah mengerti. AKU ini adalah segalanya. AKU ada dimana-mana. AKU telah melampaui segalanya. Jadi, manalagi yang bisa AKU pilih ? Karena semuanya adalah AKU.”
Ki Wanasalam tersenyum dan berkata :
“Tuluskah jawaban Ki Ageng ? Tidak adakah maksud lain ?”
Ki Ageng Pengging tersenyum. Dia tidak menjawab lagi. Jawaban Ki Ageng Pengging sangatlah tulus. Namun Ki Wanasalam tetap tidak bisa menangkap ketulusan itu. Dia masih curiga. Curiga jikalau jawaban itu bernilai ambigu. Tidak murni spiritual, namun tersirat juga maksud Ki Ageng Pengging mempunyai rencana merebut tahta Demak Bintara. Pikiran Ki Wanasalam yang sudah terpola dengan kecurigaan, tidak bisa melihat ketulusan kata-kata Ki Ageng Pengging.
Melihat orang yang pikirannya seliar ini, maka percuma Ki Ageng Pengging mengulangi kata-katanya. Beliau lantas memilih diam dan tersenyum. Senyum geli seseorang yang melihat keserakahan tampak didepan matanya. Keserakahan manusia yang terobsesi keduniawian. Dan lagi lagi, senyum ini diartikan lain oleh pikiran Ki Wanasalam.
Jika Ki Wanasalam sadar, dia seharusnya malu. Malu kepada sosok pemuda yang umurnya terpaut jauh dengannya, namun batinnya lebih tulus daripada batinnya sendiri.
Dan pada akhirnya, Ki Wanasalam menyampaikan amanat Sultan Demak. Dia mengeluarkan surat keputusan Sultan Demak. Sembari berdiri, dia membacakan surat keputusan tersebut.
Surat tersebut berisi, mulai semenjak hari yang tertanda dalam surat keputusan Sultan Demak, Ki Ageng Pengging dilepas dari jabatannya sebagai Adipati Pengging. Dan, Pengging bukan lagi wilayah tersendiri. Pengging akan dimasukkan ke wilayah terdekat. Untuk sementara, menunggu keputusan lebih lanjut, Ki Ageng Pengging harus tetap memimpin Pengging dan tetap menjaga keamanan Pengging.
Gemparlah seluruh prajurid Pengging mendengar surat keputusan Sultan Demak tersebut. Sedang, Ki Ageng Pengging malah tersenyum puas. Karena dengan lepasnya jabatan sebagai Adipati dari pundaknya, maka setidaknya, rasa ketidak terimaan beliau akan tahta yang direbut Raden Patah, yang masih tersisa sedikit direlung hatinya, bisa dimatikan ! Namun, tidak begitu bagi para prajurid Pengging. Banyak yang menahan amarah ketidak terimaan.
Selesai membacakan surat keputusan Sultan Demak, Ki Patih Wanasalam, menggulung surat tersebut, menyimpannya kembali dan duduk. Lantas Ki Patih berkata :
“Mulai hari ditetapkannya surat keputusan ini, ananda Ki Ageng Pengging sudah bukan lagi seorang Adipati. Dan atas perintah Kangjeng Sultan Demak, ananda harus menghadap ke Demak demi menunjukkan kesetiaan ananda.”
Ki Ageng menjawab :
“Ki Patih, apa perlunya hamba menghadap ke Demak ? Toh sekarang saya bukan siapa-siapa lagi. Sudahlah, saya sekarang hanyalah orang Sudra, wong cilik. Kangjeng Sultan Demak seyogyanya jangan lagi mencurigai hamba.”
Ki Patih berkata tegas :
“Ini adalah perintah seorang Sultan. Dan beliau memberi waktu bagi ananda tiga tahun kedepan.”
Dan, upacara pelepasan jabatan-pun segera dilakukan. Setelah upacara usai, Ki Wanasalam kembali ke tempat istirahatnya. Dan Ki Ageng Pengging, kembali ke Dalem Agung.
Berita dilepasnya jabatan Adipati dari pundak Ki Ageng Pengging, segera menyebar ke seluruh penjuru Pengging. Menyebar dari mulut ke mulut. Ketidak puasan pun terdengar. Banyak yang tidak bisa menerima akan hal tersebut.
Keesokan harinya, kembali Ki Wanasalam bertemu Ki Ageng Pengging untuk berpamitan.
Hari itu, Pengging gempar. Para Lurah Prajurid Pengging memohon menghadap kepada Ki Ageng Pengging demi untuk menanyakan maksud keputusan tersebut. Dan kepada para Lurah Prajurid Pengging, Ki Ageng mengiyakan keputusan beliau tersebut dan seluruh masyarakat Pengging diminta menerima kenyataan ini. Bagaikan menelan pil pahit para Lurah Prajurid mendengarnya. Ki Ageng Pengging lantas memberikan kepada mereka, untuk bergabung menjadi prajurid Kadipaten yang bakal dipasrahi wilayah Pengging kelak atau melepaskan jabatan sebagai prajurid dan bertani.
Para Lurah Prajurid segera mengumpulkan prajurid Pengging. Kepada mereka, para Lurah Prajurid menawarkan pilihan dari Ki Ageng Pengging. Dan sungguh tidak disangka, seluruh prajurid menyatakan hendak meletakkan senjata dan memilih menjadi petani biasa, mengikuti junjungan mereka, Ki Ageng Pengging.
Dan, di Demak, kabar dilepasnya jabatan Ki Ageng Pengging sebagai Adipati pun merebak pula. Ki Wanasalam sudah menyampaikan hasil dia diutus ke Pengging. Sultan Demak sedikit berlega hati. Namun manakala dia mendengar bahwasanya Ki Ageng Pengging tampak enggan untuk menghadap ke Demak, kecurigaannya kembali muncul.
Tinggal menunggu waktu. Jika sampai tiga tahun mendatang Ki Ageng Pengging tetap tidak menghadap ke Demak, maka tidak ada jalan lain, cucu Prabhu Brawijaya V itu, harus disingkirkan seperti halnya Syeh Lemah Abang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar