Selasa, 09 Desember 2008

Pengobatan Regeneratif dengan Sel Induk (STEM CELL)

Kamis,31 Januari 2008 08:58

Sel induk (stem cell) kini digunakan untuk pengobatan penyakit degeneratif, yang prinsip kerjanya meregenerasi sel-sel yang terdegenerasi.

Sebagian besar penelitian yang dilakukan untuk menemukan terapi terbaik penyembuhan penyakit degeneratif dewasa ini mengarah pada penggunaan sel induk (stem cell). Pemanfaatan sel induk ini disebut terapi regeneratif, karena pengobatan macam ini punya sifat menyelamatkan manusia dari kematian akibat suatu penyakit degeneratif, semisal diabetes, alzheimer dan jantung. Pengobatan regeneratif membantu proses penyembuhan alami lebih cepat. Bisa juga dengan menggunakan materi tertentu yang bermanfaat dalam menumbuhkan kembali jaringan yang hilang atau rusak akibat penyakit degeneratif.

Karena sifat penyembuhannya bisa mencegah kematian seseorang akibat penyakit degeneratif yang disebabkan faktor usia, maka pengobatan regeneratif disebut sebagai terapi perpanjangan usia. Hasilnya berupa perbaikan beberapa kerusakan organ akibat bertambahnya usia. Begitu juga dengan sel induk yang kemudian jadi penemuan mutakhir dalam menambah p¬riode usia sehat seseorang. Bagaimana pun, benar apa yang dikatakan Prof Dr dr A Harryanto Reksodiputro, SpPD, KHOM, bahwa sel induk bukanlah usaha membawa manusia menuju keabadian.


Penyakit degereneratif biasanya hadir pada usia yang semakin bertambah, merusak banyak sekali bagian tubuh, termasuk sel induknya. Maka itu, sebelum mampu menemukan akar permasalahan akibat degenerasi terkait usia, beberapa dokter melakukan penelitian guna mencari cara meregenerasi setiap bagian tubuh manusia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam situs Depkes, hampir 17 juta orang meninggal lebih awal tiap tahunnya sebagai akibat epidemi global penyakit degeneratif.

Sejak 2002, menurut situs longevitymeme.org, pengobatan regeneratif banyak mendemonstrasikan penggunaan sel induk sebagai titik awal penyembuhan pasien. Bahkan, sel induk ba¬nyak menyelamatkan ancaman kematian akibat penyakit jantung di Jepang, Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Jerman. Sel induk adalah sel yang belum berdiferensiasi dan berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi sel lain. Kemampuan ajaib itulah yang memungkinkan sel induk menjadi sistem perbaikan tubuh, yaitu dengan menyediakan sel baru yang sehat selama organisme bersangkutan hidup.

“Stem cell adalah sel yang dapat terus tumbuh dan bisa menjadi sel tipe apa pun dalam tubuh manusia,” kata Prof Harryanto pada awal presentasinya dalam seminar Stem Cell dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-58 Universitas Indonesia Tingkat Fakultas Kedokteran beberapa waktu lalu.

Sel induk sering disebut-sebut dalam terapi penyembuhan leukemia, meski ternyata tidak sesignifikan yang diperkirakan. “Penggunaan stem cell untuk penyembuhan leukimia sangat rendah. Di Amerika saja hanya setengah persen kemungkinan seseorang itu memerlukan stem cell untuk pengobatan leukemia. Karena, angka penderitanya memang rendah. Sekarang, yang banyak adalah pengobatan stem cell pada penyakit degeneratif seperti jantung, stroke, dan diabetes,” katanya.

Menurut Prof Harryanto, ketiga penyakit tersebut menjadi sasaran pengobatan sel induk yang utama karena paling sesuai. “Pelaksanaannya mudah. Stem cell dan sum-sum tulang (bone marrow) ataupun stem cell tali pusat atau pusar (Umbilical Cord Blood = UCB) semuanya berasal dari darah dan pembuluh darah. Diabetes juga masalahnya dengan darah dan pem¬buluh darah, jadi sel-selnya sama. Bisa dikatakan kerjanya juga relatif mudah untuk memasukkan stem cell-nya. Pasien diabe¬tes tinggal diberi suntikan saja. Kalau otak juga tinggal dikateterisasi. Meski kemudian perbaikannya belum tentu juga terjadi. Karena mungkin dia betul-betul berubah jadi sel otak atau dia ha¬nya berproliferasi. Tapi, penelitian terakhir mengatakan keduanya terjadi,” kata Harryanto.

Meski diungkapkan oleh seorang ahli dengan bahasa yang sederhana, sesungguhnya proses penyembuhan penyakit degeneratif tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada ketentuan tententu yang mesti dikondisikan agar tidak ada reaksi penolakan dari tubuh penerima sel unduk. Sama saja dengan tindakan transplantasi yang membutuh¬kan kecocokan antara pendonor dan penenima. Kecocokan ini dilihat sebagai surface antigen yang lebih dikenal dengan sebutan Human Leukocyte Antigen (HLA).

“Kalau diambil dari sum-sum tulang, maka HLA-nya harus sesuai. Tapi, kalau diambil dari UCB, sifat antigeniknya ringan. Nah, kalau yang embrionik kan dari sel induk embrio, barangkali lebih tidak memberi reaksi. Artinya, tiada penolakan sama sekali karena betul-betul masih kosong,” katanya menjelaskan hambatan teknis transplantasi sel induk.

Melihat kelebihan sel induk embrionik ini, terlihat pula potensi sel induk ini dibandingkan dengan sel induk dewasa (yang diambil dari sum-sum tulang atau tali pusat). Namun, masalah etik terkait pengembangan penelitian sel unduk embrionik ini juga sangat kontroversial. Inilah sebab kenapa banyak negara lebih mengutamakan penelitian pemanfaatan sel induk dewasa pada berbagai penyakit degeneratif, sehingga tidak diha¬dapkan pada masalah dan kontroversi etika.

Boenjamin Setiawan, Presiden Komisaris PT Kalbe Farma Tbk, dalam tulisannya “Aplikasi Terapeutik Sel Induk Embrionik pada Berbagai Penyakit Degeneratif” di situs Kalbe menuliskan, pilihan akhirnya jatuh pada sel induk tali pusat karena mudah didapat dan diperbanyak. Lalu immunogenicity-nya pun rendah dan plastisitasnya cukup baik.

Asal-usul Sel Induk

Penelitian stem cell (sel induk) untuk medis mulai dila¬kukan dan berkembang pada 1960-an setelah dilakukannya penelitian oleh ilmuwan Kanada, Ernest A McCulloch dan James E Till. Sel induk meskipun sudah dikatakan bersifat dapat berdiferensiasi dan berproliferasi, namun memiliki jenisnya masing-masing. Sel induk embrionik, misalnya, bersifat totipoten atau memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis sel. Lalu ada juga sel induk pluripoten, multipoten, dan unipoten yang hanya dapat menghasilkan satu jenis sel tertentu. Tapi, jenis yang terakhir ini memiliki kemampuan memperbarui diri yang tidak dimiliki sel selain sel induk.

Bicara tentang dua macam stem cell, embrionik dan dewasa, tentu harus diketahui pula secara jelas asal muasal keduanya. Sel induk embrionik diambil dari embrio pada fase blastosis (5-7 hari setelah pembuahan) yang terdiri atas 100 sel. Sel induk ini, seperti ditulis Boenjamin Setiawan dalam Aplikasi Tepapeutik Sel Stem Embrionik pada Berbagai Penyakit Degeneratif di situs Kalbe, mempunyal sifat dapat berkembang biak se¬cara terus-menerus dalam media kultur optimal dan pada keadaan tertentu dapat diarahkan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai sel yang terdiferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, sel saraf, dan sel hati.

Sel induk dewasa (adult stem cells) adalah sel induk yang terdapat di semua organ tubuh, terutama di dalam sum-sum tulang dan berfungsi melakukan regenerasi untuk mengatasi berbagai kerusakan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Tubuh kita mengalami pengrusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang mengakibatkan nekrosis (kematian jaringan dan sel) akan dibersihkan oleh sel makrofag yang beredar dalam darah.

Sel induk dewasa sebaliknya berfungsi memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan. Sel induk dewasa dapat diambil dari fetus (fetal stem cells), sum-sum tulang (bone marrow stem cells), dan menyusul kemudian penemuan sel induk yang bisa diambil dari darah perifer atau tali pusat (umbilical cord blood stem cells = UCB).

Pada tahun 1970-an, menurut Wikipedia, para peneliti menemukan darah tali pusat manusia mengandung sel induk yang sama dengan sel induk yang ditemukan dalam sum-sum tulang. Darah tali pusat mengandung sejumlah sel induk yang memiliki keunggulan melebihi sel induk sum-sum tu¬lang, di mana transplantasi sum-sum tulang memerlukan kecocokan HLA 6/6 atau paling tidak 5/6. Risiko lainnya adalah timbulnya penyakit GvHD, sum-sum tulang yang baru menghasilkan sel aktif yang secara imunologi menyerang sel-sel resipien. Risiko kontaminasi virusnya juga lebih tinggi.

Transplantasi sel induk da¬rah tali pusat pertama kali dilakukan di Prancis pada penderita anemia Fanconi tahun 1988. Pada tahun 1991, darah tali pusat ditransplantasikan pada penderita Chronic Myelogenous Leukemia. Kedua transplantasi ini berhasil dengan baik. Sampai saat ini telah dilakukan kira-kira 3.000 transplantasi darah tali pusat.

Tak heran darah dari tali pusat (plasenta) ini kemudian disimpan untuk digunakan pada masa depan bila diperlukan. Bahkan, Korea, Thailand, dan Singapura sudah menyediakan fasilitas penyimpanan darah tali pusar. Salah satu bank penyimpanan tali pusar bayi baru lahir adalah Cordlife, Singapura. Penyimpanan ini dike¬nakan biaya 2.000 dollar Singapura dan setiap tahunnya ha¬rus membayar biaya perawatan 200 dollar Singapura. Di Indonesia pun kini sudah ada Cordlife Indonesia.
----------------------------------------
Glosari

Antigen
Setiap zat yang bisa merangsang suatu respons kekebalan. Atau sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya, termasuk molekul kecil (hapten) dipasangkan ke protein-pembawa. Antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.

Imunogenisitas
Kemampuan memberi rangsangan pada molekulnya yang disebut determinan antigenik. Antigen yang memiliki kemampuan mengadakan reaksi spesifik dengan zat anti disebut imunogen.

Human Leukocyte Antigen (HLA)
Semua sel memiliki molekul pada permukaannya, yang khas untuk setiap individu. Molekul ini disebut molekul kompleks histokom¬patibilitas mayor (disebut juga Human Leukocyte Antigens atau HLA). Yaitu kelompok protein dalam sel sum-sum tulang belakang yang dapat memprovokasi sistem imun agar merespons. Melalui molekul ini, tubuh dapat membedakan mana yang merupakan benda asing, mana yang bukan benda asing. Ada dua jenis HLA, yaitu HLA yang ditemukan di semua sel tubuh, kecuali sel darah merah dan HLA yang hanya ditemukan pada permukaan makrofag serta limfosit T dan limfosit B yang telah dirangsang oleh suatu antigen.

Graft versus Host Disease (GvHD)
Komplikasi yang terjadi ketika sel yang baru (the graft) bereaksi terhadap tubuh pasien (the host). Dalam transplantasi sel induk, kalau donor dan penerimanya tidak cocok dengan sempurna, GvHD akan diawali dengan reaksi penolakan terhadap sel induk karena terdapat benda asing dalam tubuh.

(JURNAL NASIONAL, 29 Januari 2008/ humasristek)

Tidak ada komentar: