oleh Damar Shashangka
Putra tunggal Ki Ageng Pengging yang diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir, telah tumbuh dewasa. Begitu menginjak dewasa, Nyi Ageng Tingkir selalu dibuat was-was dengan tingkah laku keponakannya ini.
(silakan lihat posting tentang Ki Ageng Pengging http://asidharta.blogspot.com/2007/07/ki-ageng-pengging.html)
Menginjak usia lima belas tahunan, Mas Karebet gemar pergi ke tengah hutan belantara. Hal ini dilakukannya berhari-hari tanpa pulang. Pulang-pulang cuma sebentar, lantas pergi lagi. Wilayah Tingkir yang masih dikelilingi hutan rimba, kini dipegang oleh pejabat baru yang ditunjuk oleh Sultan Demak. Nyi Ageng Tingkir, sebagai seorang janda bekas Adipati, hidup berkecukupan dari hasil bersawah. Nyi Ageng Tingkir tidak memiliki putra. Praktis, Mas Karebet, keponakannya itu, sangat-sangat beliau sayangi.
Namun, kegemaran Mas Karebet yang sangat suka bepergian dari rumah dan sering memasuki hutan belantara, sangat-sangat mencemaskan Nyi Ageng Tingkir. Manakala Mas Karebet pulang, berkali-kali Nyi Ageng Tingkir mengutarakan kecemasannya. Namun setiap kali pula Mas Karebet menjawab :
“Ibu, jangan khawatir. Di hutan saya banyak memiliki teman pertapa Shiwa Buddha. Saya ke hutan tidak hanya sekedar bermain-main, tapi ngangsu kawruh (menimba ilmu) dari beliau-beliau.”
(kemungkinan besar petapa Shiwa Budha yang dimaksud adalah paman Mas Karebet sendiri,yaitu Kebo Kanigoro yang memang mengasingkan diri dan membangun pedepokan di dalam hutan di wilayah gunung Merapi : aryasidharta)
Walau begitu, Nyi Ageng tetap saja mencemaskan keselamatan putra keponakannya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri. Hingga pada suatu ketika, Nyi Ageng memanggil seorang ulama Islam ke kediaman beliau, khusus didatangkan dan diupah untuk mengajar Mas Karebet. Tapi Mas Karebet sama sekali tidak tertarik. Dia tetap meneruskan kegemarannya mengunjungi para pertapa didalam hutan.
Kebiasaan ini terus berlanjut hingga usia Mas Karebet menginjak dua puluh lima tahun. (Mas Karebet lahir pada tahun 1499 Masehi : Damar Shashangka) Dan pada akhirnya, kesabaran Nyi Ageng Tingkir benar-benar habis. Dia melarang Mas Karebet pergi dari rumah. Nyi Ageng mengutus dua orang pembantu untuk terus mengawasi Mas Karebet. Mas Karebet diperintahkan Nyi Ageng untuk ikut bekerja bersama pembantu-pembantu yang lain disawah!
Mas Karebet mengalah. Setiap hari, kini Mas Karebet bekerja disawah bersama pembantu-pembantu yang lain.
Pada suatu ketika, manakala Mas Karebet tengah melepas lelah disebuah gubug diareal pesawahan, tanpa sengaja Mas Karebet melihat seseorang berpakaian hitam-hitam dengan membawa tongkat tengah berjalan ditengah pematang pesawahan. Orang itu kelihatan sudah sangat sepuh. Namun masih terlihat tegap saat melangkah. Dia sendirian. Berjalan pelahan ditengah sengatan terik mentari. Pematang yang membujur membelah areal pesawahan dan pada ujungnya akan melewati gubug dimana Mas Karebet melepas lelah itu dititinya pelahan.
Mata Mas Karebet tak lepas-lepas memperhatikan orang tersebut. Mas Karebet-pun tengah sendirian. Para pembantu yang lain, masih tampak sibuk bekerja. Dan anehnya, mereka semua seolah tidak melihat adanya orang tua berpakaian hitam-hitam yang tengah berjalan dipematang sawah ini.
Dan, begitu sosok tua ini sedemikian dekatnya dengan Mas Karebet, mendadak dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Mas Karebat sambil tersenyum. Wajahnya luar biasa cerah. Mas Karebet tertegun...
“Ngger, Aneng kene dede pakaryanira. Ananging sejatine, pakaryanira aneng Keraton Demak. Wis, ngger, pamita marang ibunira, mangkata suwita marang Kangjeng Sultan Demak. Weruha, ngger. Sira iku bebakale Ratu Tanah Jawa!”
(Anakku, disini bukanlah tempatmu bekerja. Akan tetapi sesungguhnya, pekerjaanmu ada di Keraton Demak. Sudahlah anakku, mohon ijinlah kepada ibumu, berangkatlah mengabdi kepada Kangjeng Sultan Demak. Ketahuilah anakku, kamu adalah calon Raja Tanah Jawa!)
Mas Karebet tersentak. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Dan orang tua itu segera berlalu. Mata Mas Karebet tak lekang-lekang mengikuti kepergian sosok misterius tersebut. Otaknya berputar, mencerna kata-kata yang barusan didengarnya.
Dan hanya sekejap Mas Karebet melepaskan pandangan matanya pada sosok misterius tersebut, dia sejenak menunduk, mengingat kata-kata orang tua tadi, sedetik kemudian dia menoleh mencoba kembali mengamati sosok aneh yang barus saja berlalu. Tapi aneh! Sosok itu sudah tidak ada! Padahal pematang sawah itu masih panjang jaraknya dari jalan desa! Mas Karebet tercengang! Sontak dia bangkit mencari-cari kemana orang tadi berjalan! Tidak ada! Orang berpakaian hitam-hitam itu benar-benar raib! Hilang begitu saja!
Mas Karebet kelimpungan! Masih terngiang kata-kata orang misterius barusan! Segera Mas Karebet memutuskan untuk pulang kerumah, melaporkan kejadian tersebut kepada ibunya, Nyi Ageng Tingkir!
Mendapati cerita Mas Karebet, Nyi Ageng Tingkir mengernyitkan kening dan bertanya :
“Ngger, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?”
Mas Karebet menjawab :
“Angagem sarwa wulung. Busana wulung, iket wulung.”
(Mengenakan pakaian serba hitam. Berjubah hitam dan berikat kepala hitam)
Nyi Ageng Tingkir memekik kaget :
“Itu Kangjeng Sunan Kalijaga! Sudah, ngger, berangkatlah ke Demak. Aku mempunyai seorang kakak kandung yang menjabat sebagai Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana : Damar Shashangka)), namanya Ki Ganjur. Sudahlah, aku kirim kamu kesana. Ikutlah pamanmu di Demak Bintara!”
Nyi Ageng Tingkir begitu gembira. Secepatnya dia mempersiapkan keberangkatan Mas Karebet ke Demak Bintara. Dua orang pembantu diutus mengiringi keberangkatan putra kesayangannya tersebut.
Keesokan harinya, Mas Karebet diantar dua orang pembantu berangkat ke ibu kota Demak.
Di Demak, ketiganya langsung menuju kediaman Ki Ganjur, Lurah Kaum. Setelah menitipkan Mas Karebet, dua orang pembantu tersebut mohon ijin pulang kembali ke Tingkir. Mas Karebet mulai tinggal diibu kota Demak tepat pada tahun 1524 Masehi.
Ki Ganjur tahu siapa Mas Karebet. Sosok pemuda trah Pengging satu-satunya. Trah pewaris tahta Majapahit yang sesungguhnya. Ki Ganjur-pun tahu, Mas Karebet pemeluk Shiwa Buddha. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Ki Ganjur, karena dia melihat masa depan Mas Karebet sangat cerah dikemudian hari.
Mas Karebet, lantas dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir oleh orang-orang dilingkungan Kaum. Jaka Tingkir berarti seorang perjaka dari Tingkir. Tugas Mas Karebet atau Jaka Tingkir setiap hari hanyalah membersihkan areal masjid Demak.
Jaka Tingkir melakukan tugas tersebut dengan sepenuh hati. Walau dia tidak ikut menggunakan tempat ibadah itu bagi dirinya, namun bagi Jaka Tingkir, tak ada bedanya membersihkan sebuah tempat ibadah suci umat lain maupun tempat ibadah suci bagi pemeluk Shiwa Buddha.
Tak ada yang berani protes atas kehadiran Jaka Tingkir ditempat itu. Karena Jaka Tingkir adalah keponakan Ki Ganjur sendiri. Berbulan-bulan Jaka Tingkir tinggal ditempat Ki Ganjur. Hingga pada suatu ketika, Ki Ganjur mendapat ide jitu untuk menarik perhatian Sultan Demak.
Ki Ganjur menyarankan Jaka Tingkir untuk menyengaja terlambat saat membersihkan masjid Demak tepat pada hari Jun'at mendatang. Tujuannya, apabila nanti Sultan Trenggana hadir hendak melaksanakan shalat Jum'at seperti biasanya, Sultan Trenggana biar melihat Jaka Tingkir yang masih sibuk membersihkan areal masjid. Dengan cara itu, Sultan Trenggana pasti akan kurang berkenan. Manakala Sultan Demak marah, biar Ki Ganjur yang akan memohonkan ampunan, sekaligus Ki Ganjur akan membuka jati diri Jaka Tingkir dihadapan Sultan Demak.
Ki Ganjur akan meyakinkan Sultan Demak bahwasanya sosok Jaka Tingkir sangat-sangat dibutuhkan oleh Kesultanan. Jaka Tingkir masih putra Ki Ageng Pengging. Sosok yang sangat disegani sisa-sisa bangsawan Majapahit. Dengan memanfaatkan Jaka Tingkir, Sultan Demak bisa menaklukkan kekuatan-kekuatan Shiwa Buddha yang dibeberapa daerah masih juga terus mengadakan perlawanan, baik yang terang-terangan maupun gerilya.
Ki Ganjur dan Jaka Tingkir sepakat.
Pada hari Jum'at yang sudah ditetapkan, pagi-pagi sekali masjid Demak sudah ramai-ramai dibersihkan oleh para Kaum. Sultan Trenggana menjelang siang hari pasti akan hadir untuk melaksanakan shalat Jum'at di sana. Beliau akan hadir beserta para pejabat yang lain. Namun Jakatingkir, tidak terlihat.
Menjelang siang hari, baru Jaka Tingkir muncul. Dia menyibukkan diri membersihkan ruangan dalam masjid. Padahal, waktu dilaksanakannya shalat Jum'at sudah sedemikian dekat. Para Kaum keheranan melihat ulah Jaka Tingkir. Dia diperingatkan bahwasanya rombongan Sultan akan segera hadir. Namun Jaka Tingkir seolah tidak peduli.
Dan benar, sesaat kemudian dihalaman masjid terlihat ramai. Rombongan Sultan Trenggana beserta para pejabat Demak telah hadir! Para Kaum kalang kabut, mereka cepat berlarian keluar menyambut kedatangan rombongan Sultan.
Begitu Sultan Trenggana hendak memasuki ruang dalam masjid, dia melihat didalam masih ada seorang pemuda yang tengah sibuk membenahi ruangan. Sultan Demak keheranan. Siapakah orang yang kurang ajar tidak mau menyambut kehadirannya. Kehadiran seorang Sultan Demak Bintara?
Para Kaum geger!
Sultan Trenggana segera memerintahkan prajurid Demak memanggil Jaka Tingkir! Jaka Tingkir pura-pura kaget dan segera berlari menghampiri Sultan Demak begitu beberapa prajurid dengan kasar menghardik dia. Jaka Tingkir menghaturkan sembah seraya memohon ampunan. Dengan posisi bersila dan kedua tangan tercakup didepan wajah.
Sesaat Sultan Trenggana mengamati sosok pemuda yang bersila didepannya. Tampan dan gagah. Bukan keturunan rakyat biasa. Sultan Trenggana lekat-lekat mengamati sosok pemuda itu, lantas dia bertanya :
“ Kamu siapa? Tidak tahukah sopan santun seorang kawula apabila Gusti-nya datang?”
Jaka Tingkir menjawab :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya Jaka Tingkir, putra keponakan Ki Ganjur. Mohon ampun atas ketidak sopanan hamba...”
Sultan Trenggana heran. Kata-kata Jaka Tingkir sangat tertata dan halus. Siapakah gerangan pemuda ini? Dalam hati Sultan Trenggana bertanya-tanya.
(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, begitu Sultan Trenggana hadir, Jaka Tingkir melompati kolam masjid Demak dalam posisi membelakangi Sultan. Hal ini membuat Sultan kaget sekaligus tersinggung. Melompati kolam masjid sambil membelakangi Sultan sesungguhnya melambangkan bahwa Jaka Tingkir telah 'melompati tata aturan tempat suci seorang Sultan' : Damar Shashangka)
Mendadak seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Sultan Demak sambil menyembah dan bersila disamping Jaka Tingkir. Dia adalah Ki Ganjur.
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ini adalah putra keponakan saya yang baru datang dari desa. Mohon ampun atas kelancangannya. Tolong dimaklumi, karena dia masih bodoh dan belum menahami tata krama Keraton.”
Karena waktu shalat Jum'at sudah harus dimulai, Sultan Trenggana-pun lantas berkata :
“Seusai shalat Jum'at, kamu harus menghadap ke Istana!”
Ki Ganjur dan Jaka tingkir menunduk. Umpan mereka telah dimakan. Dan rombongan Sultan Demak-pun memasuki masjid Agung untuk menunaikan shalat Jum'at.
Ki Ganjur sowan ke istana Demak. Seorang kawula yang dipanggil menghadap ke Keraton, biasanya kalau tidak mendapatkan anugerah atau tugas khusus, kemungkinan besar pasti akan mendapatkan murka. Dan Ki Ganjur sudah dapat memperkirakan, dirinya akan mendapatkan murka dari Sultan Demak.
Ki Ganjur menunggu untuk dipanggil menghadap ke Siti hinggil ditempat khusus. Setelah sekian lama menunggu, seorang abdi dalem datang dan menyuruh Ki Ganjur menghadap ke Siti Hinggil.
Setelah bertatap muka dengan Sultan Demak, Ki Ganjur-pun meminta pengampunan kepada Sultan atas kecerobohan yang telah dilakukan oleh Jaka Tingkir. Ternyata, Sultan tidak murka, malahan Sultan menanyakan siapakah pemuda yang kini tinggal di rumah Ki Ganjur. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Ki Ganjur. Serta merta Ki Ganjur menyampaikan siapa sesungguhnya Jaka Tingkir. Sultan Trenggana terkejut. Namun, sedemikian pintarnya Ki Ganjur meyakinkan Sultan, pada akhirnya, Sultan Demak-pun berkata :
“Paman Ganjur, jika memang benar apa yang kamu katakan barusan, beranikah Jaka Tingkir aku uji kesaktiannya?”
Ki Ganjur diam. Tapi tak ada jalan lain.
“Jika memang Kangjeng Sultan berkehendak seperti itu, kami hanya bisa pasrah saja. Tapi beribu ampun, Kangjeng. Kalau boleh hamba tahu, Kangjeng hendak menguji anak saya Tingkir dengan cara bagaimana ?”
Kangjeng Sultan tersenyum :
“Seperti halnya menguji calon pasukan pengawal Sultan. Yaitu diadu dengan seekor banteng. Beranikah?”
Ki Ganjur menyutujui.
Dan pada hari yang telah ditentukan, di lapangan tempat pengujian para prajurid, dengan disaksikan oleh Sultan Demak sendiri, beserta beberapa pejabat dan para pasukan pengawal Sultan, Jaka Tingkir, siap diuji kesaktiannya!
Jaka Tingkir yang telah banyak belajar ilmu bela diri, termasuk cara menggunakan berbagai senjata, cara berkuda dan ilmu-ilmu kanoragan dari para pertapa Shiwa Buddha, kini semua yang telah dipelajarinya tersebut, harus ditunjukkan semaksimal mungkin. Karena hari ini adalah hari penentuan bagi masa depan Jaka Tingkir dikemudian hari!
Jaka Tingkir dengan gagahnya menaiki seekor kuda sembari membawa busur panah. Tegang dia menunggu bunyi gong tanda dilepaskannya banteng liar sebagai lawan tandingnya. Manakala dari atas panggung, Kangjeng Sultan Trenggana mengangkat tangan kanannya, maka, gong-pun dipukul nyalang oleh seorang prajurid khusus! Menyusul…seekor banteng liar tiba-tiba masuk ke dalam areal lapangan!
Sorak-sorai terdengar. Jaka Tingkir menggebrak kudanya. Gemuruh suara para prajurid menambah semangat Jaka Tingkir. Untuk beberapa saat, Jaka Tingkir memacu kuda mengelilingi tubuh banteng tersebut. Banteng mendengus. Sesaat belum terpancing. Namun sesaat kemudian, banteng berubah semakin liar!
Banteng menyerang Jaka Tingkir . Jaka Tingkir sigap, kuda berputar indah menghindari serudukan banteng! Gemuruh suara prajurid terdengar melihat gerakan indah cara menghindar yang dipertunjukkan oleh Jaka Tingkir. Sultan Trenggana tersenyum .
Serudukan awal itu luput, banteng memutar badannya, mendengus kencang, lantas kembali mengejar Jaka Tingkir. Aksi kejar-kejaran terjadi. Jaka Tingkir dengan lihai mampu menjaga jarak yang tetap antara kudanya dan banteng yang terus mengejar. Dan….dengan gagahnya, Jaka Tingkir melepaskan tali kekang kuda sembari mengangkat tubuhnya dari pelana. Dengan posisi miring ke arah belakang, Jaka Tingkir melepaskan beberapa anak panah! Tidak terlihat kapan Jaka Tingkir mengambil anak panah dari pundaknya! Anak panah meluncur deras dan tepat mengenai tubuh banteng! Banteng terluka! Serudukannya agak goyah! Gemuruh prajurid riuh rendah melihat ketangkasan Jaka Tingkir yang mampu mengendarai kuda tanpa memegang tali kekang dan sekaligus melepaskan anak panah dengan fokus yang terarah!
Banteng mendengus!!! Semakin liar!!
Tiba-tiba, dari arah pinggir, muncul due ekor banteng lain! Keduanya langsung menyerang Jaka Tingkir! Dengan sangat lincah Jaka Tingkir memacu kuda dan mengambil sebatang tombak yang tersedia dipinggir arena. Sekali lagi, Jaka Tingkir bangkit dari pelana kuda, tombak terarah pada salah satu banteng! Sesaat Jaka Tingkir mengarahkan tombaknya! Sesaat kemudian dia melemparkan tombak ditangannya kearah tubuh salah satu banteng! Tepat! Seekor banteng perutnya jebol terkena tombak!
Jaka Tingkir berputar lagi menuju pinggiran arena, dia menyambar sebatang tombak lagi, seperti yang tadi, Jaka Tingkir melemparkan tombak kearah salah satu banteng yang lain. Sekali lagi, seekor banteng terkena bidikan tombaknya!
Jaka Tingkir tidak membuang waktu, dengan tetap memacu kudanya, beberapa kali dilepaskannya anak panah. Bidikan anak panah tak ada yang meleset, mengarah satu persatu ke tubuh ketiga banteng yang kebingungan hendak menyeruduk!
Kondisi ketiga banteng sudah lemah. Jaka Tingkir mendekati salah seekor banteng. Dengan indahnya, dia melompat dari punggung kuda yang dinaikinya, berpindah ke punggung banteng. Banteng melonjak-lonjak! Nampak Jaka Tingkir ikut terayun-ayun. Namun dengan kecepatan yang luar biasa Jaka Tingkir menancapkan sebilah keris dileher banteng yang dinaikinya!
Banteng roboh! Meregang nyawa! Seekor banteng yang lain mendekat! Jaka Tingkir lari menghindar. Tapi, bersamaan dengan itu, cepat keris ditangannya mengarah ke leher banteng yang menyeruduknya…Leher banteng terkoyak! Banteng lari kepinggir…dan roboh meregang nyawa!
Gemuruh sorak sorai prajurid kembali terdengar!
Tinggal seekor lagi……
Sultan Trenggana terlihat bangkit dari duduknya. Dia nampak terpikat dengan ketangkasan Jaka Tingkir!
Sedangkan ditengah arena, Jaka Tingkir berlari menghampiri kudanya. Kembali dia menaiki kuda.Tombak kembali dia raih. Dan tombak meluncur mengarah tubuh banteng! Telak! Banteng mendengus…dan roboh akibat telah banyak luka-luka ditubuhnya! Sorak sorai lebih hebat membahana mengiringi kemenangan Jaka Tingkir.
Dan Sultan Demak-pun puas!
Jaka Tingkir diangkat sebagai Lurah Prajurid Pengawal Sultan Demak.
Berhasil dengan gemilang melewati uji keprajuridan pasukan pengawal Sultan, nama Jaka Tingkir seketika dikenal dan merebak dikalangan istana. Identitas Jaka Tingkir sebagai putra Ki Ageng Pengging-pun sudah banyak yang tahu. Banyak para pejabat Demak yang kagum pada ketangkasan Jaka Tingkir, namun disebagian pihak, bergulir pula sebuah kecemasan.
Sunan Kudus, adalah salah seorang yang mencemaskan hal tersebut, dia mengutarakan kecemasannya atas masuknya putra Ki Ageng Pengging dilingkungan istana Demak kepada Sultan Trenggana langsung. Namun, Sultan Trenggana sudah terlanjur menyukai Jaka Tingkir. Kecemasan Sunan Kudus tidak begitu ditanggapi Sultan Demak.
Dan, manakala Sultan Trenggana melantik Jaka Tingkir sebagai Lurah Prajurid Pengawal Sultan Demak, maka gegerlah seluruh pejabat. Ada yang diam-diam menolak dan tidak puas atas keputusan tersebut, namun banyak pula yang bergembira mendengarma keputusan Sultan.
Dan masa depan Jaka Tingkir sudah nampak didepan mata.
Kemampuan Jaka Tngkir kerap kali teruji. Sebagai Lurah Prajurid Pengawal Sultan, Jaka Tingkir mampu memberikan rasa aman bagi Sultan Trenggana. Pernah suatu ketika, manakala Sultan Trenggana tengah melakukan perburuan dihutan, Jaka Tingkir berhasil menyelamatkan Sultan Trenggana dari serangan gerombolan geriryawan Majapahit.
Jaka Tingkir mampu mengusir gerombolan gerilyawan tersebut tanpa pertempuran sama sekali. Pemimpin gerombolan mematuhi perintah Jaka Tingkir, sang putra Ki Ageng Pengging, untuk tidak meneruskan penyerangannya.
Begitu juga suatu ketika, saat Jaka Tingkir mengawal Sultan Trenggana yang tengah berkunjung ke wilayah bagian Demak melalui rute menyeberangi sebuah sungai, Jaka Tingkir mampu mengundurkan gerombolan gerilyawan Majapahit pula yang tengah menyerang secara tiba-tiba rombongan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir mengundurkan mereka tanpa pertempuran sama sekali! Sultan Trenggana merasa sangat terlindungi dan aman dengan Jaka Tingkir yang berada disampingnya.
(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala Sultan Trenggana tengah berburu, Jaka Tingkir berhasil menangkap seekor harimau yang hendak mengganggu Sultan. Harimau tersebut ditaklukkan dan dipanggul oleh Jaka Tingkir. Ditunjukkan kepada Sultan Demak, lantas dilepaskannya. Dan dilain waktu, manakala Sultan Demak tengah mengadakan kunjungan ke wilayah bagian dengan melewati rute menyeberangi sebuah sungai, tiba-tiba muncul buaya yang besar! Jaka Tingkir terjun ke sungai, dia bergulat dengan buaya. Buaya berhasil ditangkap, diperlihatkan kepada Sultan Trenggana dan lantas dilepaskan : Damar Shashangka)
Jaka Tingkir sangat dekat dengan Sultan Trenggana. Lebih dekat daripada pejabat-pejabat yang lain, seperti Sunan Kudus maupun Fatahillah, Sang Senopati Demak Bintara. Keselamatan Sultan benar-benar terjaga apabila Jaka Tingkir melakukan pengawalan. Seluruh lasykar Majapahit yang masih bergerilya, sangat menghormati dan menyegani putra Ki Ageng Pengging tersebut. Apa yang disampaikan oleh Ki Ganjur, terbukti sudah. Dan Sultan Trenggana semakin menyayangi Jaka Tingkir.
Pada suatu ketika, Sultan Trenggana mengeluarkan maklumat khusus, membuka kesempatan kepada pemuda-pemuda Demak untuk mengabdi sebagai Pasukan pengawal Sultan. Sultan Demak menghendaki jumlah personil pasukan pengawal ditambah dengan mengambil personil baru diluar personil angkatan perang yang sudah ada.
Maklumat istimewa tersebut disambut antusias oleh seluruh pemuda-pemuda Demak. Banyak yang berdatangan ke ibu kota Demak. Mereka mengajukan diri untuk bersedia mengabdi sebagai anggota Pasukan pengawal Sultan.
Setiap pemuda harus melewati ujian-ujian yang tidak mudah. Banyak yang berhasil, tapi lebih banyak pula yang gagal. Jaka Tingkir mendapat tugas melakukan penyeleksian dan pengujian. Konon, seluruh pemuda yang berasal dari padepokan-padepokan di pelosok Tanah Jawa, banyak yang berdatangan. Dengan mengandalkan kesaktian yang telah mereka peroleh dari guru masing-masing, para pemuda ini mencoba peruntungannya di Demak Bintara.
Pemberontakan Ki Ageng Sela
Ada kejadian menarik. Putra Ki Getas Pandhawa, guru Sultan Trenggana, yang bernama Ki Ageng Sela, ikut mendaftar. Padahal Ki Ageng Sela sudah memegang jabatan sebagai kepala pasukan bersenjata Demak yang ditugaskan didaerah Sela (Sekarang tetap bernama Sela, sebuah daerah disekitar lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah : Damar Shashangka)
Sultan Trenggana jelas-jelas tidak mau mengambil personil calon pasukan pengawal dari personil angkatan bersenjata yang sudah ada. Namun mengingat Ki Ageng Sela masih merupakan putra gurunya, Sultan Trenggana terpaksa menyuruh Jaka Tingkir untuk mencatatnya dalam daftar calon-calon anggota pasukan pengawal yang hendak diuji. Namun, saat pengujian Ki Ageng Sela, Sultan sendiri yang akan memutuskan hasilnya, bukan Jaka Tingkir.
(Ki Ageng Sela adalah putra Ki Getas Pandhawa. Ki Getas Pandhawa adalah putra Raden Bondhan Kejawen atau Ki Ageng Tarub II. Raden Bondhan Kejawen adalah putra Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning yang berasal dari Sulawesi. Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka)
Saat hari pengujian Ki Ageng Sela, Sultan Trenggana hadir menyaksikannya. Seperti saat menguji Jaka Tingkir, Ki Ageng Sela-pun diadu dengan tiga ekor banteng liar sekaligus. Dua ekor banteng bisa ditaklukkan dengan mudah oleh Ki Ageng Sela, dan manakala tinggal seekor banteng lagi, saat keris Ki Ageng Sela berhasil menghunjam ke leher banteng, darah banteng tersebut muncrat ke wajah Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memalingkan wajahnya jijik!
Sultan Trenggana tersenyum. Saat itu juga beliau memutuskan bahwa Ki Ageng Sela telah gagal dalam menempuh ujian. Sultan berkata :
“Sela…sira ora katarima, amarga sira jirih ing getih!”
(Sela…kamu tidak diterima, sebab kamu masih jijik dengan darah!)
Ki Ageng Sela marah mendengar keputusan Sultan. Dia kembali ke Sela dan mengumpulkan seluruh pasukan yang berada dibawah komandonya. Beberapa minggu kemudian, ibu kota Demak dikagetkan dengan mengamuknya pasukan Demak sendiri diareal keraton. Fatahillah, sebagai Senopati Agung Demak mendapat laporan, bahwa pasukan Demak yang ditugaskan didaerah Sela dan dipimpin langsung oleh Ki Ageng Sela tengah mengamuk di istana.
Fatahillah segera menghadap Sultan Trenggana dan memohon ijin untuk menggempur Ki Ageng Sela beserta pasukan Demak yang bersamanya. Namun Sultan Trenggana melarang Fatahillah untuk menggempur pasukan yang membelot tersebut secara sungguh-sungguh. Jika memang memungkinkan, hindari korban seminimal mungkin. Dan pesan Sultan kepada Fatahillah, agar Senopati Demak tersebut memberikan ruang kepada Ki Ageng Sela agar bisa leluasa masuk areal keraton. Sultan Trenggana berkehendak untuk menghadapi Ki Ageng Sela sendiri jika memang dia berani masuk ke istana.
Fatahillah segera melaksanakan perintah.
Di areal istana, Sultan Trenggana menunggu kemungkinan Ki Ageng Sela memang berani memasuki areal istana yang sengaja dibuka untuknya. Hanya pasukan Ki Ageng Sela yang akan ditahan. Ki Ageng Sela sendiri disengaja diberikan keleluasaan memasuki istana.
Sultan Trenggana menaiki seekor kuda dengan dikawal para pasukan pengawal Sultan yang dipimpin oleh Jaka Tingkir.
Dan benar! Manakala diluar istana tengah terjadi pertempuran, nampak seorang penunggang kuda memacu kudanya memasuki areal keraton dengan beraninya!
Jaka Tingkir waspada! Dia memberikan isyarat agar seluruh pasukan pengawal siaga. Pasukan pengawal bergerak mengitari Sultan Trenggana. Posisi Sultan kini berada ditengah-tengah seluruh pasukan.
Ki Ageng Sela dengan beraninya memacu kuda sembari megang senjata terhunus! Sultan Trenggana tanggap. Dari atas punggung kuda, Sultan merentangkan busur panah dan melepaskan beberapa anak panah! Sasarannya bukan tubuh Ki Ageng Sela, namun kuda tunggangannya!
Begitu anak panah yang dilontarkan Sultan Trenggana mengenai sasaran di kaki kuda Ki Ageng Sela, sontak kuda meringkik nyaring dan tersungkur ruboh! Otomatis, Ki Ageng Sela ikut jatuh terjerembab!
Dalam posisi seperti itu, Jaka Tingkir memerintahkan pasukannya mengepung Ki Ageng Sela! Ki Ageng Sela tidak berdaya! Tombak-tombak tajam prajurid pengawal Sultan terarah ketubuhnya yang masih jatuh terduduk didekat kudanya yang roboh meringkik-ringkik!
Sultan memacu kuda mendekat kearah Ki Ageng Sela. Dari atas kuda, Sultan berkata :
“Sela, jelas sudah terlihat kamu sangat semberono dalam melakukan penyerangan. Seorang pemimpin pasukan tidak seharusnya meninggalkan pasukannya sendirian saat pertempuran tengah berlangsung. Apalagi, berani menyerang pusat kekuatan musuh sendirian pula!”
Dan Ki Ageng Sela harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ki Ageng Sela ditahan di Demak Bintara.
Sesungguhnya, ada pemicu lain yang membuat Ki Ageng Sela berani coba-coba melakukan ’pemberontakan kecil’ tersebut. Ki Ageng Sela meyakini bahwa dari keturunan Tarub, yaitu keturunan Raden Bondhan Kejawen, sesuai ramalan Prabhu Brawijaya V, eyang buyut Ki Ageng Sela, bahwasanya kelak dari keturunan Tarub akan tampil menjadi Raja Tanah Jawa. Wahyu keprabon tersebut belum saatnya turun kekeluarga Tarub pada masa itu. Wahyu itu akan jatuh kepada cicit Ki Ageng Sela, yaitu Panembahan Senopati, yang kelak mendirikan Kesultanan Mataram pada tahun 1575 Masehi.
Atas kebijaksanaan Sultan Demak, kesalahan Ki Ageng Sela diampuni. Dia tetap dipercaya memimpin pasukan didaerah Sela, walau terbatas hanya dengan duaratus limapuluh personil semata.
Jaka Tingkir terusir dari Demak
Proses pendaftaran calon pasukan pengawal Sultan berlanjut setelah peristiwa Ki Ageng Sela.
Suatu ketika, datang seorang pemuda berperawakan tinggi besar dengan janggut ditumbuhi bulu lebat. Dia mengaku bernama Dhadhung Awuk. Dhadhung Awuk adalah pemuda yang terkenal sakti mandraguna. Beberapa anggota pasukan pengawal memberikan informasi kepada Jaka Tingkir bahwa Dhadhung Awuk pernah dicurigai terlibat pemberontakan Raden Suryawiyata.
Saat mendaftar, Dhadhung Awuk sesumbar bahwa dirinya gatal ingin menghancurkan lasykar-lasykar Majapahit yang masih banyak melakukan perang gerilya. Dia ingin mengadu kesaktian dengan mereka. Kalau sehari tidak memukuli orang-orang Majapahit, tangannya terasa gatal!
Mendapat laporan seperti itu, diam-diam Jaka Tingkir marah. Sontak dia datang sendiri ketempat pendaftaran. Melihat kehadiran Jaka Tingkir, beberapa pasukan memberikan tempat.
Jaka Tingkir lantas duduk bersila, berhadap-hadapan dengan Dhadhung Awuk.
Jaka Tingkir sendiri yang menyatakan keberatan dengan pengajuan diri Dhadhung Awuk untuk mendaftar sebagai calon pasukan pengawal Sultan. Demak membutuhkan orang-orang yang mampu menghargai semua lapisan. Demak sudah kebanyakan orang-orang kolot.
Dan Dhadhung Awuk tersinggung. Dia kemudian berkata :
“Apakah karena Raden Jaka Tingkir masih pewaris sah tahta Majapahit sehingga Raden tidak menyukai saya? Ingat Raden, ini Demak, bukan Majapahit! Dan Majapahit sudah tidak ada apa-apanya lagi!"
Jaka Tingkir diam. Lalu dia mempersilakan Dhadhung Awuk untuk meninggalkan tempat tersebut.
Dhadhung Awuk semakin lancang :
“Jika Raden tidak terima, boleh kita mengadu kesaktian. Atas nama pribadi, antara Dhadhung Awuk dan Jaka Tingkir, bukan antara Dhadhung Awuk dengan seorang Lurah Prajurid Pengawal Sultan Demak!”
Gegerlah seluruh yang hadir mendengar perkataan Dhadhung Awuk. Baik para prajurid pengawal Sultan maupun para pemuda yang sedang mengantri menunggu giliran mendaftarkan diri.
Jaka Tingkir tidak menggubris. Dan Dhadhung Awuk-pun tidak juga segera pergi meninggalkan tempat tersebut.
Maka bangkitlah amarah Jaka Tingkir manakala Dhadhung Awuk sesumbar :
“Ketahuilah Raden, badan saya ini terasa gatal semua jikalau sehari saja tidak dihunjami senjata oleh orang Majapahit!”
Jaka Tingkir memberi isyarat kepada seorang anak buahnya untuk mendekat. Jaka Tingkir membisikkan sesuatu, lantas, prajurid tersebut memerintahkan seluruh yang hadir menepi untuk memberi ruang lebar…
Tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi…
Dan semua orang jadi tahu apa yang bakalan terjadi ketika Jaka Tingkir berkata kepada Dhadhung Awuk :
“Jika memang itu maumu, mari kita buktikan bersama siapa yang lebih sakti! Aku akan mencoba kesaktianmu dengan sadak ini.”
Saat itu Jaka Tingkir tengah memegang ‘sadak’. (Sadak adalah alat penumbuk buah gambir, dimana hasil tumbukan tersebut dipakai sebagai bahan campuran untuk mengunyah sirih. Panjangnya sekitar 15 cm dan besarnya Cuma sebesar jempol tangan, berbentuk silindris. : Damar Shashangka)
Dhadhung Awuk mendengus melihat beberapa prajurid telah membuat ‘kalangan’ atau tempat yang cukup luas untuk adu kesaktian. Dhadhung Awuk segera beranjak dari bersila, lantas bergerak ke arah tengah-tengah ‘kalangan’ yang telah disediakan. Disana dia berdiri gagah dan membuka dadanya lebar-lebar
Terlihat Dhadung Awuk mencabut keris. Kemudian menghunjamkan keris itu berkali-kali kedada dan perutnya sendiri. Tidak ada luka sedikitpun ditempat mana dia menghunjamkan senjata tersebut.
Jaka Tingkir beranjak. Dia menuju ‘kalangan’ dengan disaksikan oleh para prajurid dan para pemuda dengan dada berdebar!
Kini, Jaka Tingkir dan Dhadhung Awuk berdiri berhadap-hadapan. Ditangan Jaka Tingkir tergenggam sadak. Melihat apa yang dipegang Jaka Tingkir, Dhadhung Awuk sedikit mendengus. Keris saja tidak mampu melukai tubuhnya, apalagi sebuah sadak. Begitu Dhadhung Awuk bergumam dalam hati.
Sesaat keduanya masih diam ditempat masing-masing. Dan sedetik kemudian, Jaka Tingkir tiba-tiba bergerak cepat menusukkan sadak ke dada Dhadhung Awuk! Dhadhung Awuk membuka dada lebar-lebar.
Dan Dhadhung Awuk menjerit keras manakala sadak ditangan Jaka Tingkir menancap dalam tepat dijantungnya! Darah muncrat dari sana! Dhadhung Awuk menggeram! Tikaman Jaka Tingkir tepat mengenai organ vital! Tubuh Dhadhung Awuk bergetar hebat! Sedetik kemudian jatuh terduduk, lantas roboh menelungkup! Dhadhung Awuk tewas seketika!
Gegerlah seluruh yang hadir!
Kejadian tersebut dilihat oleh beberapa pejabat yang kebetulan hadir ditempat tersebut. Mereka lantas menghadap Sultan Trenggana, melaporkan kejadian terbunuhnya seorang calon pasukan pengawal Sultan ditangan Jaka Tingkir. Sultan Trenggana murka! Beliau seketika itu juga memerintahkan Jaka Tingkir untuk menghadap!
Pada hari itu, Sultan Demak melepas jabatan Jaka Tingkir sebagai Lurah Prajurid Pengawal Sultan. Bahkan, Jaka Tingkir diusir dari lingkungan istana Demak.
Jaka Tingkir yang memang merasa bersalah, menerima keputusan tersebut. Namun diam-diam, dengan diusirnya Jaka Tingkir dari istana, Nimas Sekar Kedhaton, adik Ratu Kalinyamat, menangis dan merasa kehilangan.
Setelah berpamitan kepada Ki Ganjur, Jaka Tingkir-pun meninggalkan ibu kota Demak Bintara. Panjang lebar Ki Ganjur memberikan nasehat kepada keponakannya yang terlihat sangat terpukul tersebut. Dan, Ki Ganjur-pun akhirnya dengan berat hati melepaskan Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir tidak pulang ke Tingkir. Dia merasa malu kepada ibunya, Nyi Ageng Tingkir. Dia tidak mau pulang sembari membawa kegagalan dan aib. Bukannya pulang membawa kebanggaan bagi ibunya.
Jaka Tingkir memutuskan menuju ke Pengging.
Tidak banyak orang Pengging yang tahu kehadiran Jaka Tingkir. Diam-diam dengan menyamar sebagai seorang pengembara, Jaka Tingkir menuju ke Pura Dalem Agung Pengging. Pura yang dulu dibangun oleh ayahandanya, Ki Ageng Pengging.
Dengan meminta ijin kepada Pemangku Pura, Jaka Tingkir berniat berdiam diri untuk beberapa hari. Sang Pemangku tidak mengenal Jaka Tingkir sebagai putra Ki Ageng Pengging. Dia memberi ijin kepada Jaka Tingkir untuk tinggal di Pura karena menyangka Jaka Tingkir adalah seorang pertapa pengembara yang tengah menjalankan laku spiritual.
Jaka Tingkir sudah berniat, sebelum mendapatkan petunjuk niskala, dia tidak akan beranjak pergi dari Pura tersebut. Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi dilaksanakannya. Dengan hati pedih, Jaka Tingkir memohon kemurahan Hyang Widdhi untuk berkenan memberikan petunjuk-Nya. Siang dan malam Jaka Tingkir tak lepas-lepas mengucarkan Japa dari mulutnya. Jika lelah ber-Japa, Jaka Tingkir bermeditasi. Jika lelah bermeditasi, Jaka Tingkir berbaring diam, hingga kadang-kadang tertidur.
Dengan uang yang dimilikinya, Jaka Tingkir setiap pagi turun ke desa mencari makan. Hanya sehari semalam sekali. Selepas itu dia berpuasa. Jaka Tingkir mencoba menghindari kecurigaan warga Pengging dengan selalu berpindah-pindah saat membeli makanan.
Tujuh hari telah berlalu, Jaka Tingkir tetap teguh menjalankan Tapa-nya. Dan pada malam yang ke tujuh, Jaka Tingkir merasa kelelahan. Tak sengaja dia tertidur dikala meditasinya.
Saat tertidur, Jaka Tingkir merasa melihat seberkas cahaya meluncur deras dan berhenti tepat didepannya. Cahaya itu pelahan berubah menjadi sosok manusia. Sesosok lelaki yang gagah dan tampan dengan tubuh yang memendarkan sinar luar biasa lembut dan terang!
Antara sadar dan tidak, Jaka Tingkir melihat sosok lelaki itu tersenyum kepadanya dan berkata :
“Ngger Karebet putraningsun, aja kedlarung-dlarung anggenira kasusahan ing pikir. Wis angger, sesuk esuk ambarengi pletheking bagaskara ing bang wetan, sira mangkata, anjujuga padukuhan Banyu Biru. Suwitaa marang Ki Ageng Banyu Biru. Ing kono wahanane sira bakal nemoni kamulyan lan pepadhanging lakunira.”
(Anakku Karebat, janganlah berlarut-larut kamu bersusah hati. Sudah, anakku. Besok pagi bersamaan dengan terbitnya matahari dari ufuk timur, berangkatlah dari sini, pergilah ke dukuh Banyu Biru, mengabdilah kepada Ki Ageng Banyu Biru. Disana tempat kamu akan mendapatkan kemuliaan dan terang dalam hidupmu.)
Jaka Tingkir menyembah dalam dan bertanya :
“Siapakah yang hadir didepan saya ini ?”
Sosok itu menjawab dengan senyum penuh kedamaian:
“Weruha angger, ya ingsun iki Ki Ageng Kebo Kenanga ya Ki Ageng Pengging. Ramanira kang satuhune.”
(Ketahuilah anakku, aku ini adalah Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, ayahandamu yang sesungguhnya.)
Jaka Tingkir kaget. Serta merta dia langsung menghambur dan menubruk sosok tersebut sembari menangis! Tangis kerinduan Jaka Tingkir yang tertahankan selama ini pecah sudah! Diciuminya kaki sosok Ki Ageng Pengging tersebut dengan berurai air mata.
Dan Jaka Tingkir lebih terperanjat lagi manakala dirasakannya ada sosok lain yang hadir dan tengah mengelus-elus kepalanya. Jaka Tingkir mencoba beringsut untuk melihat siapakah itu. Dan Jaka Tingkir melihat sesosok wanita cantik sembari tersenyum, bersimpuh didekatnya dan membelai kepalanya.
“Kangjeng Ibu?”, suara Jaka Tingkir tercekat haru.
Sosok wanita itu mengangguk pelan dan menjawab :
“Iya anakku, aku ibumu. Nyi Ageng Tingkir..”
Tangis Jaka Tingkir kembali memecah tak terbendungkan! Diciumnya kaki ibunya...
Terdengar suara Ki Ageng Pengging lembut :
“Karebet, wis ngger, elinga welingingsun, JALMA UTAMA TANSAH NETEPI ANGGERING DHARMA. Aja pegat rina lan wengi tansah memuji Hyang Widdhi. Ing kono bagya mulya bakal sira tampa. Kariya basuki putraningsun Karebet..”
(Karebet, sudahlah anakku, ingat-ingatlah pesanku, MANUSIA UTAMA SENANTIASA MEMEGANG TEGUH KETENTUAN DHARMA. Jangan pernah putus memuji Hyang Widdhi siang dan malam. Disana kedamaian dan kemuliaan akan engkau dapatkan. Selamat tinggal putraku Karebet.)
Dan sosok Ki Ageng Pengging beserta Nyi Ageng Pengging-pun lenyap seketika dari hadapan Jaka Tingkir.
Bersamaan dengan itu, Jaka Tingkir tersadar dari meditasinya. Air mata masih membasahi kelopak matanya...
Dan seketika itu juga, Jaka Tingkir bersujud syukur kepada Hyang Widdhi. Semalaman penuh Jaka Tingkir tak dapat memincingkan mata sedikitpun.
Keesokan harinya, tepat ketika matahari menyembul di ufuk timur, Jaka Tingkir berpamitan kepada Pemangku Pura.
Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan Shiwa Buddha. (Banyu Biru terletak di sekitar Ambarawa : aryasidharta)
Banyak para siswa yang berguru kepada beliau. Kebanyakan adalah mereka-mereka yang masih tetap teguh memegang ajaran Shiwa Buddha.
Ki Ageng Banyu Biru memiliki dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil. Disana, sudah beberapa waktu yang lama, telah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.
Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.
Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa membersihkan Padepokan. Tak ada yang mengetahui apa maksud beliau. Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, akan datang seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut.
Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan serta meminta ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Cantrik tersebut segera menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng serta merta memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut yang tak lain adalah Jaka Tingkir!
Jaka Tingkir terkejut juga mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau sudah tahu pasti bahwa pada sore hari itu, dia akan datang kesana. Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya sampai ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha mencari letak padepokan tersebut, dan pada akhirnya berkat Hyang Widdhi, dia sampai juga dan bisa bertemu langsung dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.
Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan untuk sementara waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari berbagai macam ilmu dari Ki Ageng Banyu Biru. Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir Upanishad Weda. Jaka Tingkir benar-benar mendalami Ilmu tinggi tersebut.
Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng dengan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membuat Ki Ageng sangat menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha dengan mudah dikuasai Jaka Tingkir. Hanya dalam beberapa bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir sudah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya benar-benar terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru bangga melihat perkembangan Jaka Tingkir.
Dan manakala sudah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan. Konon, dari Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir mendapatkan Aji Lembu Sekilan, yaitu sebuah ilmu kesaktian yang langka, yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai serangan dalam batas satu jengkal jari (satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan ; Damar Shashangka). Konon pula, ilmu ini menyerap energi Lembu Andini, seorang Atma Suci yang berwujud seekor Lembu dan menjadi tunggangan Shiwa Mahadewa.
Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Ki Ageng memberikan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir agar dapat kembali diterima oleh Sultan Trenggana.
SULTAN TRENGGANA
Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana pasti meninggalkan ibu kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang tahu bahwasanya Sultan kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.
Untuk kembali mendapatkan kepercayaan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu Biru menyarankan kepada Jaka Tingkir membuat sebuah keonaran dengan meminta bantuan beberapa gerilyawan Majapahit. Keonaran tersebut harus mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid angkatan bersenjata Demak yang berada disana.
Sebelum pasukan bantuan Demak datang dari Demak menuju Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir harus secepatnya tampil menjadi sosok penyelamat. Dengan demikian, Sultan pasti akan kembali menaruh kepercayaan kepada Jaka Tingkir.
Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.
Arya Bahureksa.
Untuk mempersingkat perjalanan dari Banyu Biru ke Pegunungan Prawata, keempat pemuda ini memilih menghindari jalur darat. Mereka memilih menggunakan jalur suingai.
Rakit-pun dibuat. Setelah rampung membuat rakit yg kokoh, keempatnya segera menaiki rakit.
Disuatu tempat, karena waktu telah menjelang sore hari, keempatnya memutuskan untuk menepi dan mencari tempat bermalam dipinggir sungai. Kebetulan, tak jauh dari tepi sungai, waktu itu banyak para gadis tengah mencuci pakaian. Melihat kehadiran keempat orang asing yang tak dikenal, para gadis seketika menyingkir ketakutan.
Dasar Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca yang memang masih belia, salah seorang gadis tercantik diantara sekawanan gadis lain, sempat digoda oleh keduanya. Gadis tersebut marah dan pulang dengan hati mendongkol.
Tak ada yang menyangka jika menjelang malam menanjak, tempat dimana keempat pemuda ini bermalam seadanya tiba-tiba dikepung oleh orang-orang tak dikenal dengan senjata lengkap! Perselisihan terjadi. Apa daya empat orang melawan sebegitu banyak manusia, pada akhirnya keempatnya menuruti keinginan segerombolan orang-orang tak dikenal tersebut.
Akhirnya, Jaka Tingkir dan ketiga temannya tahu duduk permasalahan sebenarnya setelah mereka dibawa ke tempat hunian ditengah hutan, sarang para gerombolan.
Tempat dimana mereka bermalam ternyata adalah wilayah hunian para gerombolan gerilyawan Majapahit. Dan salah seorang gadis cantik yang sore tadi mereka goda adalah anak perempuan sang pemimpin gerombolan.
Untung, begitu Jaka Tingkir memperkenalkan siapa dirinya, para gerombolan gerilyawan langsung berbalik menghormatinya. Tiga hari tiga malam keempat pemuda dari Banyu Bitu ini dijamu disana. Arya Bahureksa, sang pemimpin, sangat-sangat bersuka cita bisa bertemu dengan putra Ki Ageng Pengging.
(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala rakit yang dinaiki Jaka Tingkir hendak menepi, mereka melihat seorang gadis cantik dipinggiran sungai. Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca menggodanya. Gadis marah dan serta merta menghilang. Disusul rakit berputar sendiri dan hujan seketika turun rintik-rintik. Lebih mengagetkan lagi, mendadak banyak buaya bermunculan ditempat itu! Keempat orang pemuda terpaksa bertempur dengan gerombolan buaya dan akhirnya berhasil menaklukkan mereka. Arya Bahureksa, pemimpin para buaya menjamu mereka di Istana Buaya selama tiga hari tiga malam : Damar Shashangka)
Dari Arya Bahureksa, Jaka Tingkir mendapatkan bantuan pasukan gerilyawan. Arya Bahureksa juga menyarankan kepada Jaka Tingkir untuk menemui Kebo Andanu, seorang pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.
Jaka Tingkir sangat-sangat berterima kasih atas semua bantuan Arya Bahureksa.
Setelah tiga hari tiga malam tinggal dipusat pemukiman para gerilyawan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun melanjutkan perjalanannya ke Pegunungan Prawata.
Kini perjalanan mereka diiringi oleh sebagian gerombolan gerilyawan yang hendak membantu. Dalam Babad Tanah Jawa, iring-iringan rakit rombongan Jaka Tingkir ini digambarkan dalam tembang Megatruh sebagai berikut :
Sigra milir, Sang Gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanampi ing kanan kering,
Sang Gethek lampahnya alon.
(Segeralah berjalan, Sang Rakit dengan disangga para buaya,
Empat puluh buaya pilihan yang menjaga,
Berada didepan dan dibelakang,
Begitu juga berada di kanan dan kiri,
Sang Rakit-pun berjalan pelan.)
(Megatruh adalah tembang yang menyiratkan situasi genting. Megat berarti : Pegat, Ruh berarti Nyawa/Atma. Megatruh berarti situasi yang mampu memisahkan Ruh dan Jasad. Perjalanan Jaka Tingkir ke Pegunungan Prawata dituangkan dalam tembang Megatruh menyiratkan bahwa perjalanan ini adalah perjalanan menujui situasi genting yang bisa memisahkan Ruh dan Jasad : Damar Shashangka)
Empat puluh prajurid pilihan, ditambah para prajurid yang lain, mengiringi Jaka Tingkir.
Perjalanan mereka-pun akhirnya terhenti manakala senja telah menjelang. Jaka Tingkir beserta para lasykar gerilyawan Majapahit ini akhirnya menepi untuk mencari tempat bermalam.
Wahyu Keprabhon berpindah.
Tepat waktu itu, mereka berhenti di wilayah pedukuhan Butuh, dimana Ki Ageng Butuh adalah pemimpin padukuhan dengan pangkat Bekel.
(Ingatkah anda dengan Ki Ageng Butuh? Ki Ageng Butuh adalah sahabat karib Ki Ageng Pengging. Beliau bersama Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Tingkir sempat berguru kepada Syeh Lemah Abang. Baca catatan saya KI AGENG PENGGING : Damar Shashangka ).
Malam itu Ki Ageng Butuh tidak dapat tidur. Beliau duduk di Pendhopo rumah. Tepat menjelang tengah malam, diatas langit nampak seberkas cahaya kebiru-biruan meluncur dari arah utara. Cahaya itu melintasi langit Butuh!
Ki Ageng Butuh terkesiap. Cahaya ini adalah Wahyu Keprabhon. Yaitu Wahyu seorang Raja. Berasal dari utara, tak lain dari Demak Bintara. Dan wahyu ini tengah berpindah tempat! Dimana wahyu ini jatuh, maka disanalah orang pilihan tersebut dapat dipastikan akan tampil menjadi seorang Raja!
Sontak Ki Ageng Butuh menghambur menuju Gedhogan ( Kandang Kuda ) dan menyambar seekor kuda. Ditengah malam buta, Ki Ageng Butuh memacu kudanya mengikuti gerak cahaya kebiru-biruan yang nampak melintas di atas langit menuju ke pinggir pedukuhan, jauh ke pinggir sungai!
Ki Ageng Butuh terus mengikuti pergerakan cahaya tersebut.
Dan tepat dipinggiran sungai, cahaya itu meluncur ke bawah dan raib! Ki Ageng terus memacu kudanya.
Dan kudanya terhenti nyalang manakala beberapa orang bersenjata tengah menghadangnya tiba-tiba!
Ki Ageng memincingkan matanya melihat ada sekitar lima orang bersenjata terhunus tengah menghalangi laju kudanya. Sejenak Ki Ageng ditanya siapakah beliau. Ki Ageng-pun memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Dan giliran Ki Ageng yang balik bertanya siapakah mereka.
Para penghadang Ki Ageng Butuh tak lain adalah para gerilyawan yang mengiringi Jaka Tingkir. Mereka tengah mendapat giliran jaga malam. Mendengar nama Jaka Tingkir disebut-sebut, Ki Ageng Butuh terkejut. Cepat dia meminta kepada kelima orang tersebut untuk menunjukkan dimana Jaka Tingkir kini tengah berada. Kelima orang itu nampak enggan dan curiga. Namun manakala mendengar penuturan Ki Ageng bahwa beliau melihat wahyu keprabhon jatuh ditempat itu, sontak mereka segera mengantarkan Ki Ageng Butuh ketempat dimana Jaka Tingkir tengah beristirahat.
Disaksikan kelima orang gerilyawan berikut Ki Ageng Butuh, disana sebuah kejadian yang memukau mata tengah terjadi!
Diatas kepala seorang pemuda yang tengah tertidur, nampak seberkas cahaya tengah mengambang, berwarna biru cerah. Keenam orang yang menyaksikan hal itu tercengang. Wajah sang pemuda nampak jelas terlihat tersinari cahaya tersebut.
Ki Ageng Butuh tidak sangsi lagi dengan Mas Karebet, putra sahabatnya Ki Ageng Pengging! Pemuda yang kini tengah tertidur dengan cahaya mengambang diatas kepalanya itu adalah Mas Karebet, karena wajahnya mirip dengan Ki Ageng Pengging!
Dan Jaka Tingkir mendadak terjaga dari tidurnya! Bersamaan dengan itu, cahaya kebiru-biruan yang terang diatas kepalanya lenyap!
Jaka Tingkir terjaga karena dalam tidurnya dia mendengar suara-suara aneh tengah memanggil-manggil namanya berulang-ulang!
Begitu dia sadar, dia nampak kebingungan manakala tak jauh dari tempatnya tidur, ada enam orang tengah memperhatikannya dengan tatapan takjub!
Belum reda keheranan Jaka Tingkir, salah seorang dari enam orang yg tengah tercengang melihatnya menghambur dan memeluknya. Keheranan Jaka Tingkir semakin bertambah-tambah. Namun begitu sosok itu memperkenalkan didinya sebagai Ki Ageng Butuh, sahabat karib ayahandanya Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir sedikit banyak memahami situasi yg serba mengherankan tersebut.
Ki Ageng Butuh menjelaskan bahwasanya Jaka Tingkir kini telah terpilih sebagai Raja Tanah Jawa. Sesaat lalu, kala Jaka Tingkir tertidur, cahaya wahyu keprabhon telah jatuh diatas kepalanya. Jaka Tingkir kembali dicekam rasa heran. Antara percaya tidak percaya. Namun melihat keseriusan Ki Ageng Butuh, keraguan Jaka Tingkir luruh juga.
Malam itu, Ki Ageng Butuh banyak memberikan wejangan-wejangan yang sangat berguna bagi Jaka Tingkir. Satu hal yg beliau tekankan, agar Jaka Tingkir mentauladani ayahandanya Ki Ageng Pengging yang terkenal sabar dan legowo. Jika kelak Jaka Tingkir benar-benar berhasil menduduki tahta dan menjadi penguasa Tanah Jawa, sikap ini harus dikedepankan.
Menjelang pagi, Ki Ageng Butuh-pun melepas kepergian Jaka Tingkir dan rombongan dengan doa-doa keselamatan.
Rombongan Jaka Tingkir, kini melanjutkan perjalanan melalui jalur darat.
Pegunungan Prawata
Dan perjalanan rombongan Jaka Tingkir-pun sampai juga di pegunungan Prawata. Walau agak lambat dikarenakan mereka memilih jalur-jalur sepi dengan menerobos hutan belukar demi meghindari kecurigaan orang banyak, pada akhirnya mereka tiba juga.
Dengan bantuan gerilyawan anak buah Arya Bahu Reksa, Jaka Tingkir bisa bertemu dengan Kebo Andanu, pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.
Jumlah personil anak buah Kebo Andanu ternyata cukup banyak juga. Dengan bantuan mereka yang sudah cukup hafal medan Pegunungan Prawata, apa yang akan direncanakan Jaka Tingkir akan bisa dijalankan dengan mudah.
Jaka Tingkir dan Kebo Andanu segera merndingkan rencana secara matang.
Setelah bkesepakatan dicapai, Jaka Tingkir menjanjikan, kelak apabila dia berhasil menduduki tahta Demak dan berhasil mendirikan Kerajaan baru, Kebo Andanu akan diberikan wilayah otonomi khusus didaerah Pegunungan Prawata dan sekitarnya. Kebo Andanu dijanjikan akan diangkat sebagai penguasa setingkat Adipati atau Raja Bawahan.
Untuk sementara waktu, Jaka Tingkir berserta rombongan beristirahat beberapa hari dipusat hunian para gerilyawan pimpinan Kebo Andanu. Jaka Tingkir menanti hari yang tepat untuk menjalankan rencananya.
Dan pada hari yang ditentukan, gerilyawan gabungan ini bergerak menduduki tempat-tempat yang sudah direncanakan. Tempat-tempat yang mendekati posisi Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada.
Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir menyamar sebagai seorang tukang rumput. Mereka berdua lebih mendekat ke pusat Pesanggrahan. Jaka Tingkir ingin lebih memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Sultan Trenggana memang benar-benar berdiam disana. Selain itu, Jaka Tingkir juga tengah mencari target beberapa orang Prajurid Pengawal Sultan yang sama-sama saling kenal dengan dirinya.
Dari hasil pengamatan Jaka Tingkir, dia bisa memastikan bahwa Sultan Trenggana memang berdiam disana. Jaka Tingkir yakin setelah mengamati seharian kondisi dan situasi Pesanggrahan. Sebagai mantan Lurah Prajurid Pengawal Sultan, Jaka Tingkir tahu bahwa memang Raja Demak itu sedang berada di Pesanggrahan Pegunungan Prawata.
Pada malam harinya, kembali Jaka Tingkir, ditemani Ki Mas Manca dan beberapa gerilyawan pilihan mendekati lokasi Pesanggrahan. Jaka Tingkir tengah mengincar beberapa orang prajurid jaga. Yaitu Prajurid Pengawal Sultan yang dikenalinya.
Setelah mendapatkan sasaran yang tepat, ditambah situasi yang dirasa cukup memadai, Ki Mas Manca dan Jaka Tingkir menyergap dua orang prajurid yang sudah diincar semenjak sore. Dibantu beberapa gerilyawan yang lain, dua orang prajurid ini berhasil dilumpuhkan dan dibawa menjauhi areal Pesanggrahan menuju ke tempat persembunyian para gerilyawan.
Sesampainya ditempat persembunyian para gerilyawan, kedua prajurid pengawal tersebut langsung ditemui sendiri oleh Jaka Tingkir. Betapa terkejut mereka mengetahui siapa yang tengah menemui mereka berdua. Keduanya tidak bakalan lupa dengan Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid Pengawal mereka.
Oleh Jaka Tingkir, kedua prajurid ini ditawari jabatan tinggi jika mereka mau membantu gerakan yang direncanakan Jaka Tingkir. Dan keduanya tergiur. Mereka akhirnya menerima tawaran tersebut. Tugas mereka hanyalah mengabarkan kepada Sultan Trengana bahwa mereka melihat sosok Jaka Tingkir tegah bertapa disekitar Pegunungan Prawata.
Kabar tersebut harus disampaikan kepada Sultan Demak keesokan hari manakala Pesanggrahan sudah diserang oleh pere gerilyawan. Ditengah situasi genting dan sangat mengancam keselamatyan Sultan, disaat itulah kedua prajurid ini harus menghadap Sultan dan menyampaikan berita tersebut.
Selanjutnya mereka harus bisa memberi masukan agar Sultan meminta bantuan Jaka Tingkir untuk mengusir gerombolan liar yang mengancam beliau.
Jika Sultan setuju, secepatnya mereka harus kembali menemui Jaka Tingkir. Jika Sultan tidak setuju, mereka tidak usah kembali lagi.
Menjelang pagti hari, seluruh gerilyawan telah siap pada pos masing-masing. Dan bersamaan dengan bunyi burung hutan buatan yang disuarakan oleh Ki Mas Manca, serentak mereka keluar dari persembunyian dan menyerang Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada!
Pagi baru menjelangt. Embun masih juga belum mengering. Matahari masih menyembul malu-malu. Seluruh Prajurid Pengawal Sultan Demak dikejutkan dengan serangan mendadak dari gerombolan gerilyawan Majapahit!
Bende (Gong kecil) seketka nyalang dipukul! Dari satu tempat, menyusul suara bende terdengar ditempat lain! Berkumadnatg memekakkan telinga! Bunyi pukulan bertylu-talu tersebut berbaur dengan suara teriakan-teriakan beringas dari para gerilyawan dan suara kepanikan para prajurid Demak!
Dipagi buta itu, dimana mata mereka juga belum sepenuhnya jernih, para Prajurid Pengawal Sultan segera menyambar senjata dan tameng masing-masing! Riuh rendak suaranya! Bentakan-bentakan komando terdengar disana-sini!!
Dan pertempuran pecah sudah! Senjata-senjata berkilat-kilat ditimpa cahaya mentari yang baru saja mengintip mayapada! Disana-sini, suara denting senjata terdengar memekakkan telinga dibarengi teriakan-teriakan marah dari mereka yang tengah mengadu nyawa!!
Belum reda kekacauan yang tengah terjadi, para prajurid Demak dikejutkan pekikan keras dari sisi lain. Pekikan yang berbunyi : JAYA MAJAPAHIT!! berulang-ulang dan disusul suara gemuruh sahutan : JAYA!!. Disana, dari sisi lain, sepasukan gerilyawan datang menyerang dan meleburkan diri dalam pertempuran yang sudah terjadi!!!
Kepanikan melanda para Prajurid Pengawal Sultan! Mereka tidak menyangka-nyangka, hari ini para gerilyawan berani menyerang Pesanggrahan Pegunungan Prawata!! Kepanikan semakin bertambah-tambah manakala disela-sela pertempuran terdengar teriakan berulang-ulang : PATENI WONG DEMAK!!! (BUNUH ORANG DEMAK!!). Teriakan ini bersahut-sahutan. Para prajurid Demak sedikit menciut nyalinya.
Dan satu demi satu, mayat-pun bergelimpangan bermandikan darah!!!
Kebo Andanu terlihat memacu kuda ditengah-tengah pertempuran sembari terus berteriak-teriak : JAYA MAJAPAHIT!! Dia membawa bendera bergambar Surya Majapahit, simbol kebesaran Majapahit ditangan kirinya ,sedangkan tangan kanannya terus mengayunkan senjata dengan lincahnya!! Satu dua prajurid Demak terpapas ayunan senjatanya! Jerit kesakitan terdengar diiringi tumbangnya tubuh itu dengan bermandikan darah segar!
Para Prajurid Pengawal Sultan terdesak! Tubuh-tubuh prajurid Demak tumbang satu persatu. Gerilyawan liar ini sangat terlihat sangat ganas! Gerakan peyerangan mereka yang tidak kenal takut terlihat sarat dengan penumpahan dendam dan kebencian!!
Dan beberapa pasukan gerilyawan telah naik memasuki Pesangrahan dimana Sultan Trenggana tengah berada! Jerit ketakutan dari para dayang wanita dan beberapa selir yang kebetulan ikut ditempat tersebut terdengar! Mereka ketakutan melihat gerombolan gerilyawan Majapahit memasuki Pesanggrahan tanpa ada satupun pasukan Demak yang bisa menahannya! Kegaduhan, kepanikan, ketakutan terlihat disana-sini!
Pergerakan pasukan gerilyawa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Penyeragan mereka semakin liar dan ganas!!!
Melihat situasi seperti itu, Jaka Tingkir segera memerintahkan dua orang prajurid Demak yang semalam diculiknya untuk segera menjalankan tugas! Kedua prajurid ini langsung bergerak menyusup, mencari jalan aman menuju Pesanggrahan. Sebuah tanda khusus yang mereka kenakan dileher membuat para gerilyawan yang kebetulan melihat mereka segera memberikan jalan!!
Dua orang prajurid ini sampai di Pesanggrahan! Situasi sangat kacau balau!! Mereka telah hapal jalan menuju ruang dalam Pesanggrahan. Dan mereka bergerak ke ruang rahasia dimana mereka pastikan Sultan pasti tengah mengamankan dirinya disana!!
Kedatangan mereka yang tergopoh-gopoh membuat beberapa prajurid pengawal yang masih menjaga Sultan terkejut!! Ditengah kepanikan dan ketakutan, ditengah kebingungan mereka mencari celah membawa lari Sultan keluar dari medan tempur, kedatangan dua orang prajurid ini hampir saja menimbulkan pertikaian!!
Namun melihat yang datang adalah sesama anggota prajurid pengawal, mereka-pun segera menanyakan ada berita penting apakah yang hendak disampaikan? Dua orang prajurid ini meminta ijin untuk bertemu Sultan Trenggana langsung!
Dalam suasana mencekam, para prajurid yabg menjaga Sultan mengantarkan dua orang suruhan menemui Sultan Trenggana! Didalam bilik, nampak Sultan tengah berdiri tegang sembari menggenggam keris. Melihat kedatangan dua orang prajurid tersebut, Sultan langsung menyambut dan menanyakan apa yang hendak mereka sampaikan.
Tanpa menungu waktu lama, dua orang prajurid ini langsung mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Jaka Tingkir tengah berada disekitar Pegunungan Prawata. Dia tengah menjalankan Tapa Brata. Jika Sultan berkenan, Jaka Tingkir mau turun tangan saat ini juga!!
Dalam kondisi panik, Sultan Treggana tidak bisa berfikir panjang lagi. Beliau langsung memerintahkan dua prajurid ini untuk menemui Jaka Tingkir. Sultan Trenggana memerintahkan Jaka Tingkir mengatasi kekacauan dan Sultan akan mengampuni segala kesalahannya!
Kedua prajurid ini bergegas mohon undur. Keduanya segera keluar dari Pesangrahan, kembali menemui Jaka Tingkir!
Mendengar Sultan Trenggana tengah panik dan meminta bantuannya, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil segera bergerak!
Ki Mas Manca segera memperdengarkan suara burung hutan tiruan bersahut-sahutan! Disusul kemudian suara serupa terdengar! Suara yang dibuat oleh para gerilyawan yang lain begitu mendengar suara burung hutan tiruan yang diperdengarkan oleh Ki Mas Manca!
Jika suara ini terdengar, maka menandakan bahwasanya Jaka Tingkir sudah waktunya tampil ke medan laga
Namun seharusnya, begitu mendengar isyarat suara yang dibunykan beberapa gerilyawan dari garis belakang, Kebo Andanu harus memberikan isyarat penghentian setengah penyerangan dengan menurunkn bendera Surya Majapahit! Hanya pemimpin gerilyawan anak buah Arya Bahureksa saja yang melakukannya. Gerakn penyerangan setengah terhenti dari sisi lain. Beberaga gerilyawan dibaris depan berbalik arah mundur pelahan bergelombang!
Namun tidak dengan pasukan yang dipimpi Kebo Andanu! Mereka terus merangsak maju. Mereka tidak melihat bendera Surya Majapahit ditangan Kebo Andanu diturunkan!
Situasi yang tak terduga ini membuat beberapa gerilyawan kebingungan. Dan Jaka Tingkir-pun melihat itu! Kebo Andanu tidak menuruti perintahnya! Kebo Andanu tidak menjalankan rencana yang telah disepakati! Dan gerakan pasukan Kebo Andanu telah merambah Pesanggrahan. Beberapa bangunan Pesanggrahan telah dibakar!
Jaka Tingkir cepat bertindak! Dia mengambil sekor kuda dan cepat naik keatas pelana. Kuda langsung digebrak nyalang, langsung melaju ke garis depan! Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil tidak tinggal diam! Mereka segera meggebrak kuda masing-masing menyusul Jaka Tingkir!
Melihat kedatangan empat penunggang kuda yang menerobos medan pertempuran, dan yang paling depan terlihat adalah Jaka Tingkir, Kebo Andanu tidak menggubris! Bendera Surya Majapahit kini semakin dia angkat tinggi-tinggi!
Jaka Tingkir bertindak cepat, dia memacu kuda mendekati Kebo Andanu. Manakala jarak mereka sudah teramat dekat, Jaka Tingkir langsung melompat dari atas kudanya, menubruk tubuh Kebo Andanu! Karuan saja, Kebo Andany jatuh terguling ditimpa tubuh Jaka Tingkir. Bendera Surya Majapahit terlempar dari genggamannya!
Cepat bendera itu diraih Jaka Tingkir dan dilemparkan kearah Ki Mas Manca yang tengah memacu kuda kearahnya! Ki Mas Manca sigap menerima lemparan tersebut! Dengan terus memacu kuda ke garis paling depan, diiringi Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil, Ki Mas Manca mengangkat tinggi-tinggi bendera Surya Majapahit, lantas digerakkannya turun sambil berteriak :
“Munduuuuuuuuur!!!!”
Mendengar teriakan komando dari Ki Mas Manca dan melihat bendera Surya Majapahit ditangannya bergerak turun, beberapa pemimpin gerilyawan yang membawa bendera serupa segera melakukan hal yang sama dan berteriak :
“Munduuuuuuur!! Munduuuuuuuuur!!”
Gerakan merangsak maju dari anak buah Kebo Andanu segera tertahan. Kini pelahan mereka mundur ke belakang bergelombang!
Beberapa prajurid Demak yang hampir kehilangan nyawa bersyukur manakala para gerilyawan itu seketika mundur kebelakang!
Di lain tempat, Kebo Andanu tengah berhadapan dengan Jaka Tingkir!
“Paman, mengapa tidak mengikuti rencana semula?!”
Suara Jaka Tingkir tertahan. Jarak mereka teramat dekat, cukup untuk didengar oleh Kebo Andanu. Kebo Andanu mendengus! Matanya berkilat-kilat!
“Kehormatan bagiku membunuh keturunan Patah itu dengan tanganku, Raden!”
Suara Kebo Andanu terdengar bergetar meahan amarah!
Jaka Tingkir mendesis :
“Pasukan Demak dalam jumlah besar sebentar lagi datang! Percuma hanya membunuh Sultan-nya! Sultan baru akan segera diangkat menggantikan! Ikuti rencana semula, paman! Tahta Demak bisa kita rebut dari dalam!!”
Namun Kebo Andanu tidak mau mendengar. Kini dia malah menaiki kudanya, menghunus keris dan berkata :
“Bunuhlah aku, Raden! Hanya dengan cara itu Raden bisa menghentikan aku memenggal kepala Trenggana!!”
Kuda digebrak! Sesaat meringkik! Lantas berlari ke arah Pesanggrahan! Jaka Tingkir tidak tinggal diam! Dia berlari menghampiri kudanya dan segera meyusul Kebo Andanu!
Aksi kejar-kejaran terlihat jelas karena pertempuran pelahan mulai mereda. Seluruh yang hadir menyaksikan itu semua. Para gerilyawan menduga-duga apa yang tengah terjadi! Dan pada akhirnya mereka masing-masing bisa menyimpulkan bahwa Kebo Andanu tengah melanggar rencana semula!
Di pihak pasukan Demak, beberapa prajurid senior bisa melihat dengan jelas dan mengenali bahwa sosok penunggang kuda yang tengah mengejar pemimpin gerilyawan itu tak lain adalah Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid Pengawal Sultan! Berbagai dugaan merebak dibenak mereka! Namun, aksi kejar-kejaran yang tengah berlangsung lebih menyita perhatian mereka!!
Dan kembali Jaka Tingkir lebih tangkas memapas laju kuda Kebo Andanu!! Kuda Jaka Tingkir mendahului laju kuda Kebo Andanu dan dengan berani bergerak melintang didepannya! Karuan Kuda Kebo Andanu terkejut dan sigap berlari memutar!!!
Kedua kuda berlari berputar arah, lantas bertemu berhadap-hadapan! Koua melonjak-lonjak sesaat! Mendengus-dengus!! Jaka Tingkir dan Kebo Andanu kini kembali berhadapan!!
“Hentikan, paman!!”
Kebo Andanu tersenyum anyir!! Dia menggeleng!!
“Membunuh Trenggana atau mati ditangan pewaris tahta Majapahit adalah kehormatan bagiku!”
Nyaring suara Kebo Andanu! Hampir semua orang mendengar suaranya! Kini, baik pasukan Demak maupun para gerilyawan mendadak terkesiap diam!! Hanya ringkikan-ringkikan kuda sesekali terdengar disana-sini! Mereka yang hadir menantikan dengan tegang apa yang bakal terjadi!
Dan, kembali Kebo Andanu memutar kudanya! Jaka Tingkir sigap! Dia menubruk tubuh Kebo Andanu sekali lagi! Keduanya terguling-guling ditanah! Dan keduanyapun cepat bangkit berdiri!! Kebo Andanu beringas! Ia tusukkan keris ke tubuh Jaka Tingkir!!
Jaka Tingkir menghindar! Jaka Tingkir tetap bersikeras mengingatkkan Kebo Andanu! Namun serangan Kebo Andanu semakin ganas!! Pertempuran terjadi! Disaksikan oleh para prajurid Demak dan para gerilyawan, dua sosok harimau Majapahit itu kini tengah bertempur satu lawan satu!
Belum lama pertempuran terjadi, suasana tegang tiba-tiba dipecahkan oleh suara hentakan kendang dan alunan gamelan!! Suara irama pertempuran!! Bunyi itu berasal dari arah Pendhopo Pesanggrahan. Seluruh yang hadir melihat, disana, Sultan Trenggana nampak tengah berdiri menyaksikan duel maut dua harimau Majapahit!! Sultan-lah yang memerintahkan beberapa Pangrawit Keraton (Pemusik Istana) yang juga ikut serta dalam rombongan Sultan di Pegunungan Prawata, untuk membunyikan gamelan bernada perang!! Bunyi gamelan mengiringi adu kesaktian Jaka Tingkir dan Kebo Andanu!!
Kendang menghentak-hentak nyalang! Indah didengar!! Seiring gerakan dua orang yang tengah mengadu nyawa! Hentakan kendang, dibarengi teriakan dari para prajurid Demak!!!
Para gerilyawan diam ditempat masing-masing! Mereka tidak mengira situasi berubah secepat itu! Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa! Semua hanya bisa mengamati dengan dada berdebar! Kedua orang yang tengah bertempur adalah para pemimpi mereka!
Namun tidak demikian dipihak pasukan Demak! Setiap kali Jaka Tingkir menyarangkan serangan, kendang dipukul keras!! Dan teriakan para prajurid mengiringinya!!! Disuatu saat, manakala posisi keduaya merapat, Jaka Tingkir menggeram :
“Hentikan!!”
Kebo Andanu mendengus :
“Bunuh aku, Raden! Atau aku akan memenggal kepala Trenggana!”
Dan pertempuran berjalan a lot! Masing-masing sangat tangguh dan terampil bermain keris! Namun disuatu ketika, keris Jaka Tingkir berhasil melukai lambung Kebo Andanu! Kendang menghentak!!! Gemuruh suara prajurid membahana!!
Kebo Andanu semakin nekad!! Dan disuatu saat, ketika Jaka Tingkir berhasil membalikkan serangan keris Kebo Andanu, ujung keris meluncur tak terarah lagi mengarah dada sang pemimpin gerilyawan!! Jaka Tingkir kaget tapi terlambat!! Keris menancap dalam!! Tepat didada Kebo Andanu!!
Kebo Andanu menggeram!! Darah memancar dari dadanya!! Sesaat dia hendak bergerak kedepan, namun tubuhnya luruh, dia jatuh terduduk.....!!!
Tangan kirinya mendekap dada yang telah basah oleh darah segar!! Tangan kanannya yang tenngah memegang keris diangkat tinggi-tinggi. Kebo Andanu berteriak :
“Jaya Majapahittt!!!”
Jaka Tingkir terkesima! Tubuhnya bagai terpancang kuat kedasar bumi!! Sesaat sebelum Kebo Andanu tersungkur, dia melihat ksatria Majapahit itu terseyum kepadanya!!!
Bunyi gamelan kemenangan kini terdengar!! Sorak sorai para prajurid Demak bergema! Ditempat lain para gerilyawan geger!!
Namun Ki Mas Manca berhasil menenangkan mereka!!
Ki Mas Manca memerintahkan dua orang gerilyawan maju kedepan. Jaka Tingkir tanggap, dia membiarkan dua orang gerilyawan itu membawa jenazah Kebo Andanu! Jaka Tingkir sempat berkata lirih, cukup didengar dua orang gerilyawan :
“Lakukan upacara kematian yang layak!”
Dan, Ki Mas Manca memerintahkan seluruh gerilyawan meninggalkan pesangrahan Pegunungan Prawata saat itu juga!
(Peristiwa memilukan ini diceritakan secara simbolis dalam Babad Tanah Jawa. Konon, sesampainya di Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir menemukan seekor kerbau liar yang bernama Kebo Andanu. Kerbau tersebut ditangkap oleh Jaka Tingkir, lantas disalah satu telinganya dimasukkannya segenggam tanah yang dibawa dari Banyu Biru. Kerbau liar tersebut berubah semakin liar, lalu dilepaskan ke arah Pesanggrahan Sultan Trenggana! Kerbau mengamuk! Para prajurid pengawal tidak ada yang mampu menaklukkan amukan Kebo Andanu. Bahkan banyak para prajurid yangtewas terkena amukannya! Pesanggrahan Pegunungan Prawata porak poranda oleh olah Kebo Andanu! Sultan Trenggana panik! Lantas, dua orang prajurid menghadap Sultan dan mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Seyogyanya Sultan meminta pertolongan Jaka Tingkir untuk menaklukkan Kebo Andanu. Sultan menyetujui. Jaka Tingkir akhirnya turun tangan. Jaka Tingkir bertempur dengan Kebo Andanu! Kerbau dipegang, namun tidak menurut dan semakin liar! Terpaksa Jaka Tingkir mengeluarkan tanah yang dia masukkan ke telinga kerbau, lalu Jaka Tingkir memukul kepala kerbau! Kepala Kerbau pecah! Kebo Andanu tewas seketika! Sultan Trenggana selamat dari amukan Kebo Andanu. Tanah yang disimbolkan dalam Babad Tanah Jawa tal lain adalah daerah kekuasaan yang sempat dijanjikan kepada Kebo Andanu. Namun daerah kekuasaan tersebut tidak jadi dimiliki Kebo Andanu karena dia telah membangkang perintah Jaka Tingkir : Damar Shashangka.)
Adipati Pajang
Banyak spekulasi merebak dikalangan istana Demak akibat peristiwa tersebut. Namun bagaimanapun juga, Jaka Tingkir terbukti berhasil menyelamatkan nyawa Sultan Trenggana.
Sunan Kudus memberi masukan kepada Sultan bahwasanya Jaka Tingkir adalah sosok berbahaya bagi Demak Bintara. Demikian juga beberapa pejabat yang lain. Namun keberhasilan Jaka Tingkir menyelamatkan nyawa Sultan bukan berarti tidak harus dihargai.
Disisi lain, Nimas Sekaring Kedhaton, putri Sultan Trenggana, memohon kepada ayahandanya agar Jaka Tingkir diperbolehkan memasuki istana kembali. Nimas Sekaring Kedhaton diam-diam jatuh hati kepada Jaka Tingkir.
Melalui serangakaian musyawarah yang rumit, pada akhirnya Jaka Tingkir diberi penghargaan menjabat sebagai seorang Raja Bawahan, seorang Adipati. Hal ini dimaksudkan, agar Jaka Tingkir tidak mempunyai akses langsung dilingkungan Istana Demak. Jaka Tingkir sengaja dijauhkan dari pusat. Jaka Tingkir dikukuhkan sebagai Adipati yang menguasai wilayah Pajang, wilayah yang tak jauh dari Pengging, tanah kelahirannya. Bahkan Pengging-pun kini masuk wilayah Pajang. Dia dikukuhkan dengan gelar ADIPATI ADIWIJAYA yang berarti KEMENANGAN UTAMA. Mass Karebet atau Jaka Tingkir kini bergelar Adipati Adiwijaya!
Ki Mas Manca diangkat sebagai pendampingnya dengan jabatan Patih Njaba. Dia lantas bergelar Patih Mancanegara. Sedangkan Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil, mereka diangkat sebagai Patih Njero, Jabatan Patih Njero dibebankan kepada mereka berdua.
(Patih Njaba adalah jabatan wakil Raja yang bertugas mengurus urusan ekstern keraton dengan dibantu beberapa mantri, membawahi beberapa pejabat diluar lingkungan ibu kota. Sedangkan Patih Njero adalah jabatan wakil Raja yang bertugas mengurusi urusan intern keraton dengan dibantu pula oleh beberapa mantri dan Ngabehi : Damak Shashangka)
Akses masuk secara langsung ke Istana Demak agak tertutup bagi Adipati Adiwijaya. Namun diam-diam, Adipati Adiwijaya-pun mencintai Nimas Sekaring Kedhaton. Hubungan diam-diam diantara mereka ini memang sudah jauh-jauh hari terjalin. Atas saran Ki Mas Manca atau Patih Mancanegara, Adipati Adiwijaya eminang Nimas Sekaring Kedhaton. Selain atas dasar cinta, Nimas Sekaring Kedhaton bisa dijadikan akses masuk kedalam istana Demak.
Pinangan-pun dilayangkan Adipati Adiwijaya kehadapan Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sedikit keberatan. Namun Nimas Sekaring Kedhaton mengancam akan bunuh diri jika pinangan Jaka Tingkir ditolak. Maka Sultran Trenggana terpaksa menerima pinangan tersebut.
Akhirnya, Adipati Adiwijaya berhasil memperistri Nimas Sekaring Kedhaton. Hubungan ini sangat ditentang oleh Sunan Kudus. Sunan Kudus menyarankan kepada Sultan Trenggana agar menutup akses masuk ke Istana bagi Nimas Sekaring Kedhaton. Nimas Sekaring Kedhaton dicap telah murtad karena memilih suami beragama kafir!
Jaka Tingkir berkuasa di Kadipaten Pajang. Beberapa gerilyawan Majapahit dia masukkan kedalam angkatn bersenjata Pajang. Bahkan keturuan Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pamanahan-pun diterima mengabdi sebagai anggota pasukan Pajang!
Kekuatan Shiwa Buddha dan Islam Abangan diam-diam menyatu dibawah panji Pajang.
Diam-diam pula, Sunan Kudus membaca situasi tersebut. Pajang tidak boleh dibiarkan. Sunan Kudus kembali menggalang kekuatan militer khusus yang sepenuhnya berda dibawah kendalinya. Pusat kekuatan militer gemblengan Sunan Kudus ini berada di Kadipaten Jipang Panolan.
Putra Pangeran Suryawiyata, Arya Penangsang yang masih muda digemblengnya luar dalam. Arya Penangsang dikaderkan kelak untuk merebut tahta Demak lebih dahulu sebelum pihak Pajang berhasil menguasainya.
Dua kekuatan militrer saling berseberangan berkembang dikalangan angkatan bersenjata Demak! Dan dua kekuatan ini kelak akan berhadapan dalan peranng mengerikan yang berdarah-darah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar